Dunia Lewat Tengah Malam

image

Pukul 00:00, jam besar di tengah kota akan berdentang duabelas kali, dan biasanya pada jam itu tidak banyak yang masih terjaga, orang-orang akan beristirahat setelah bekerja seharian, atau saling menghangatkan di balik selimut mereka yang nyaman. Tapi tidakkah kalian tahu bahwa di jam-jam seperti itu kawanan kelelawar sedang berkeliaran mencari makan, menembus kegelapan malam, menyusup di balik cahaya lampu-lampu jalan. Dan tidak hanya itu, terkadang kawanan kunang-kunang juga masih terbang di atas rerumputan liar di samping kolam air mancur di taman kota.

Dentaman keduabelas, sekaligus yang terakhir, menjadi awal detik pertama setelah pukul 00:00. Hal itu menandakan bahwa Dunia Lewat Tengah Malam baru saja dibuka. Apakah ada orang-orang yang sadar akan hal itu?. Tentu saja ada walau tidak semua orang menyadarinya. Sebagian orang yang tidak menyadari tentang Dunia Lewat Tengah Malam hanya akan menganggap semuanya biasa-biasa saja, sunyi, gelap dan tak ada sesuatu yang istimewa akan terjadi. Berbeda halnya dengan para Penjelajah Malam, mereka akan menemukan hal-hal tidak terduga yang kadang memang sedang mereka cari untuk menawari rasa penasaran mereka.

R adalah lelaki dua puluh lima tahun yang baru saja mengetahui tentang Dunia Lewat Tengah Malam, sebenarnya dia mengetahui itu lewat percakapan dua orang lelaki di perpustakaan tempat dia bekerja pada hari Jumat yang sunyi, saat itu dia sedang menyusun buku-buku di rak, suara percapakan kedua lelaki terdengar menembus rak buku, masuk ke dalam telinganya, diterjemahkan oleh akalnya lalu mengalir ke salah satu rasa di dadanya, yaitu rasa ingin tahu.

Salah satu dari lelaki tadi menceritakan kepada rekannya tentang pengalaman tak terlupakan, walau R tidak terlalu memahami cerita itu, tetap saja dia ingin mengetahui tentang Dunia Lewat Tengah Malam. Berkali-kali terdengar suara tawa teman lelaki yang bercerita tadi dan menyebut bahwa cerita itu hanya hayalan belaka. Entah temannya itu tidak merasakan sesuatu yang menarik seperti yang dirasakan R pada saat pertama kali dia mendengar tentang Dunia Lewat Tengah Malam.

Sepulang dari bekerja R melakukan rutinitas seperti biasanya, membaca novel, menonton tv hingga pukul 10 malam matanya sangat mengantuk. Untuk mengusir rasa ngantuk, R membuat secangkir kopi, namun secangkir kopi itu tidak manjur untuk dirinya, dia masih saja tetap mengantuk.

2 jam lagi. Ucap R dalam hati mengingatkan dirinya sendiri.

R mondar-mandir di ruang tv mencoba membuat tubuhnya terus bergerak dan ngantuknya menghilang. Tapi dia malah kelelahan dan terduduk di atas sofa mengatur napas sambil memperhatikan acara tv yang tidak jelas.

Sial, aku benar-benar mengantuk. Mungkin karena cahaya tv!.

Tv di matikannya, tapi tetap saja dia mengantuk, semakin tidak ingin tidur maka akan semakin mengantuk, mungkin hal ini sama seperti ketika kita ingin mengucapkan sesuatu yang ada di ujung lidah. Kita tahu, dan ingin mengucapkannya tapi kita tidak bisa mengucapkannya, sungguh mengesalkan bukan!.

Lalu suara dentaman jam besar di tengah kota terdengar berulang-ulang. Semakin banyak dentaman itu, semakin lemah dan mengantuk R, setiap dentaman seolah menjadi ritme celah kelopak matanya, semakin terkatup hingga dentaman kesebelas matanya benar-benar tertutup sempurna, lalu di dentaman keduabelas mata R membuka kembali, menjadi sangat segar seakan baru saja tertidur berjam-jam.

R bangkit sambil menoleh kearah meja kayu di depan sofa, secangkir kofinya masih terlihat berasap hangat, dan sedikit pun kofi itu belum disedunya. R mengerutkan dahi, dia merasa sudah menyedu kofi itu hingga habis. Namun hal itu bukanlah hal yang harus dipermasalahkannya, karena yang terpenting saat itu adalah dia tidak mengantuk dan siap untuk keluar menjadi Penjelajah Malam.

Jalanan sunyi khas tengah malam, kadang ada beberapa mobil melintas, itu pun dalam jangka waktu yang saling berjauhan. Tak ada cara yang diketahui oleh R untuk masuk ke dalam Dunia Lewat Tengah Malam, yang diketahuinya Dunia Lewat Tengah Malam akan terbuka setelah tengah malam. Kata terbuka bagi R merupakan simbol untuk sesuatu yang berbentuk, semisal pintu atau sejenisnya, tapi seingat R perbincangan yang didengarnya di perpustakaan itu tidak sekali pun menyebut cara masuk ke Dunia Lewat Tengah Malam. R kesal pada dirinya sendiri yang tidak terpikirkan bagian terpenting dari apa yang ingin dilakukannya.

R berjalan saja menyusuri trotoar sepi, kadang berhenti di bawah lampu jalan dan memperhatikan sekitar yang penuh dengan sudut gelap. Tak ada yang terjadi atau bahkan petunjuk seperti yang diharapkannya. Dia duduk di bawah tiang lampu jalan, meronggah kantong jaketnya dan mencari pematik berwarna emas yang dimilikinya. Memang R cukup aneh dengan pematik itu, selama hidupnya dia tidak pernah merokok walau tidak ada yang tahu apakah dia bisa merokok atau tidak. Tapi dia memiliki pematik spesial yang punya cerita tersendiri bagi hidup R. Cerita pematik itu bukanlah cerita yang enak untuk diceritakan dan mungkin akan sangat panjang, jadi lain kali saja cerita itu dituturkan.

Pematik di buka oleh R, dinyalakan kemudian di tutup kembali dan mati. Begitu terus berulang-ulang hingga R menyadari sesuatu yang mencuri perhatiannya. Lampu jalan yang disandarinya dan lampu jalan yang lain terlihat sangat berbeda daripada biasanya, bercahaya membentuk baris sepanjang trotoar mengarah seperti petunjuk jalan kesuatu tempat. Sebuah bar kecil yang terlihat  di ujung jalan, jauh namun indah dengan kelap-kelip lampu yang dipasang di papan nama bar itu. Bahkan R yang berada sangat jauh pun bisa membaca nama yang terpapang di papan nama bar tadi. ‘Midnight’ demikianlah lampu nion yang disusun membentuk tulisan itu, menyala berkedip-kedip seperti gerakan tangan kucing pada patung pemanggil pelanggan di toko-toko.

Dengan setengah berlari R menyusuri ruang yang disediakan untuknya, yaitu ruang lorong dari cahaya lampu jalan yang temaram. Semakin bar midnight tadi di dekati semakin terasa jauh jarak yang ditempuh. Mungkin seperti melihat sebuah pelangi setelah hujan turun; melengkung indah seolah kedua ujungnya jatuh mengarah bumi, padahal semakin di dapati dia akan semakin menjauh.

R berlari sekuat tenaga, tatapan matanya hanya mengarah ke bar yang ada di ujung jalan, dia seperti dihipnotis sampai-sampai dia tidak sadar jalan trotoar berubah menjadi tanah dan rumput, lampu-lampu jalan berubah menjadi pepohonan kelabu yang diterangi oleh kawanan kunang-kunang.  Dan ketika dia sampai ke pintu gerbang bar yang terbuka renggang barulah dia sadar kalau dia sudah berlari sangat jauh hingga sekitarnya terasa asing.

Dengan jantung berdebar kencang, R masuk melewati pintu gerbang, cahaya lampu di dalam bar tadi terlihat memancar keluar lewat jendela-jendela kaca yang dilapisi gorden putih berenda. Bayangan orang-orang di dalam bar kadang juga terlihat melintas melewati jendela tadi. R sudah berdiri di depan pintu utama, membukanya perlahan, lonceng yang tergantung di depan pintu berbunyi saat daun pintu di dorong ke depan, R menjengukkan kepalanya, melihat ke dalam bar yang ternyata ramai dengan pengunjung.

R masuk ke dalam bar dengan perlahan agar tak satu orang pun yang menyadari kedatangannya, namun ketika dia sudah berdiri di dalam bar, pintu yang ada di belakangnya tertutup dengan sendirinya, tertutup sangat keras seperti ada angin kencang yang meniupnya. R terkejut demikian juga dengan semua pengunjung bar tadi, semua memandang ke arah R yang berdiri kaku dengan wajah gugup. Pandangan orang-orang hanya bertahan beberapa detik, karena setelah itu semua orang mengabaikannya begitu saja.

Bar itu ternyata juga sebuah restoran, meja-meja yang menempel di dinding-dinding dengan bangku panjang berhadap-hadapan menghiasi sepanjang lorong. Ternyata tempat itu tidak sekecil ketika dilihat dari luar, tempatnya jadi sangat luas sekaligus ramai. Hampir semua meja sudah ditempati pelanggan demikian juga dengan konter yang memisahkan batender dengan pelanggan. Sambil pelangak-pelongok R menyusuri lorong dan mencari meja kosong. Tepat di depan sebuah jendela kaca sebuah meja kosong, dia duduk disana, menyandarkan diri dan mengatur napasnya yang tadi sempat kelelahan.

Seorang pelayan perempuan menghampiri R dan menyodorkan buku menu. Pelayan tadi mengeluarkan buku kecil dan siap mencatatan pesanan R. R membaca satu per satu menu yang tertera di buku menu, melihat-lihat harga yang tertera disana. Tak ada satu pun nama hidangan yang dimengerti oleh R, bahkan membaca namanya saja dia sangat kesulitan.

Sambil menutup buku menu R berucap. “Menu spesial disini biasanya apa?.”

“Menu spesial!,” ucap pelayan tadi mengulangi kata-kata R kemudian berpaling sambil mengambil kembali buku menu.

Setelah pelayan tadi pergi R menggerutu dalam hati. Ditanya, malah pergi.

Tak lama setelah pelayan tadi pergi, seorang perempuan datang dan duduk diseberang R. “Kau punya pematik?.” Tanyanya sambil menyelipkan rokok di antara bibir merah berhias lipstik.

R mengeluarkan pematik emasnya, menyalakannya lalu menyulut rokok perempuan tadi.

“Terima kasih,” ucapnya singkat kemudian diisapnya rokoknya cukup panjang lalu dihembuskannya asap rokok tadi ke arah R. “Apa kau tidak gerah menggunakan topeng itu?.” Tanya perempuan tadi.

R bingung dengan pertanyaan itu. “Topeng apa?.” Tanyanya.

“Itu yang kau pakai,” tunjuknya kearah wajah R. “Dimana kau membeli topeng kucing sebagus itu?.” Tanyanya lagi.

R masih herang dengan pertanyaan perempuan tadi. Dipegang R wajahnya sendiri. Tak ada yang aneh, semuanya masih sama seperti wajahnya. Berbulu, berkumis 6 helai dan memiliki telinga runcing.

“Ah, sudahlah jika kau tidak mau memberitahuku. Perkenalkan aku Loli,” disodorkannya tangannya untuk bersalaman.

R menyambut tangan tadi kemudian menyebutkan namanya yang sangat singkat.

“Hanya R?,” komentar Loli heran.

R menganggukkan kepala. “Memangnya kenapa, ada banyak orang kan bernama dengan 1 hurup saja?.”

“Aku baru kali ini menemukannya,” jawab Loli jujur. “Memangnya kau berasal dari mana?.”

“Aku dari Kota Kucing.” Jawab R singkat.

“Kota Kucing!?.” Ulang Loli tambah heran.

Pelayang yang tadi datang mengantarkan pesanan R, meletakkannya di hadapan R lalu kembali pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa pun.

“Apa ini!.” Ucap R kaget ketika melihat hidangan yang ada di hadapannya.

Loli menarik mangkuk yang ada di hadapan R. “Ini namanya salad. Untuk ku saja jika kamu tidak mau.”

“Di Kota Kucing kami tidak makan makanan seperti itu.”

“Lalu makanan seperti apa yang ada di Kota Kucing?.” Loli benar-benar antusias.

“Ikan panggang, fish burger, dan yang paling ku suka asam-manis ikan goreng kremes.” R meneguk liur membayangkan makanan itu. Entah kenapa dia jadi merindukan makanan-makanan itu.

Loli melongo. “Kau serius, semua itu terbuat dari ikan?.”

R mengangguk sambil tersenyum. “Memangnya kenapa?.”

“Ah, tak apa-apa. Namanya juga Kota Kucing.” Loli mencoba memaklumi. “Lalu bagaimana bisa kau sampai ke sini?.”

“Aku hanya berjalan saja. “ R kesulitan untuk menjelaskan. “Intinya aku sedang mencari sebuah tempat yang bernama Dunia Lewat Tengah Malam. Apa kau tau tempat itu?.”

“Maksudmu midnight ini?.” Loli malah balik bertanya. “Tempat ini memang biasanya di sebut seperti itu.”

“Maksudmu Dunia Lewat Tengah Malam itu hanya sebuah bar.” Suara R cukup keras.

Semua orang menjadi sunyi, semua mata memandang kearah R dan Loli.

Loli menarik tangan R kemudian membawanya berlari menuju pintu utama. Suara lonceng pintu melenyapkan langkah mereka berdua di balik pintu dan setelah itu bar kembali ramai dan normal.

Loli mendorong R ke tembok bar di luar, kemudian mendekatkan wajahnya kearah R. “Ada apa denganmu. Kenapa kau tadi keras sekali menyebut Dunia Lewat Tengah Malam. Jangan bilang kau tidak tahu peraturannya ya?.” Wajah Loli benar-benar terlihat menakutkan.

R merosotkan tubuhnya, dia jadi lunglai begitu saja. “Sumpah aku tidak tahu,” ucap R sambil menggeleng.

“Perlahan wajah Loli kembali normal. “Baiklah ku anggap kau memang benar-benar tidak tahu. Dan setelah ini apa yang ingin kau lakukan?.”

“Aku tidak tahu,” ucap R jujur. “Aku akan pulang saja.”

Loli melihat kearah jam tangannya. “Kau tidak bisa kembali sebelum lewat jam 5. Masih ada waktu 3 jam sebelum kau ditangkap.”

“Ditangkap!.” Ulang R kaget.

“Iya, ditangkap untuk dijadikan koleksi. Kau tahu semua yang datang ke midnight adalah para kolektor malam. Oleh sebab itu ketika tadi kita berjumpa kukira kau menggunakan topeng.

“Lalu aku harus bagaimana.” R semakin ketakutan dan di kepalanya hal terburuk mulai dibayangkannya.

“Kau ikut aku saja ke rumahku hingga waktumu habis. Bagaimana!.”

R menggangguk saja menyetujui.

Loli pun membawa R ke rumahnya, jalan gelap dengan kunang-kunang sebagai petunjuk mengantarkan mereka kesebuah kastil tua yang cukup megah. R belum pernah melihat bangunan semegah itu. Dia hanya pernah membacanya lewat dongeng-dongeng dan buku-buku di perpustakaan.

“Lewat sini.” Ucap Loli dengan suara berbisik.

Mereka masuk ke dalam keranjang kecil lalu secara perlahan Loli menarik tali yang terpasang di katrol puncak menara. Hingga akhirnya sampai ke jendela menara dan mereka masuk dengan hati-hati.

Koridor panjang itu hanya diterangi dengan nyala lilin yang terus melelah. Sambil mengikuti langkah Loli, R memperhatikan dengan kagum.

“Luar biasa,” ucapnya pelan berkali-kali.

Hingga akhirnya mereka berdua sampai ke kamar Loli. Kamar itu sangat luas dengan banyak lukisan tergantung di dinding. Di tengah ruangan terdapat tempat tidur berbalutkan selendang lembut sangat serasi dengan warna dinding, lukisan dan aroma yang tercium di sana.

~

R memegang jemari Loli dengan mesra sambil memandangi bintang dan 2 rembulan yang berdampingan. Loli bersandar di bahunya sembari menyanyi merdu tentang malam, kelelawar dan danau.

“Tak terasa sudah 4 tahun kita melakukan ini.” Ucap Loli dengan manja.

“Benarkah sudah selama itu?.” R tidak bisa mengingatnya.

“Setiap kali kita berjumpa aku selalu mengejutkanmu dengan bermacam cara, dan terkadang aku juga mengerjaimu agar semua ini juga terasa baru bagiku.”

“Bagaimana jika aku menetap saja dan tidak usah kembali.”

Loli melepaskan jabatan tangannya, kemudian meluruskan tubuhnya. “Aku tidak ingin mereka menemukanmu.” Loli kali ini terlihat sangat takut.

“Jika ini memang mau mu aku juga tidak bisa berbuat apa pun. Aku hanya takut kau lelah setiap malam harus mencariku.”

“Bagaimana mungkin aku lelah.” Ucap Loli sambil tersenyum.

“Sebentar lagi aku harus kembali.” Ucap R sambil bangkit dan mengeluarkan pematiknya.

Dengan berat hati Loli membiarkan R masuk ke dalam keranjang dan turun dari menara. Diperhatikannya R hingga semuanya mengabur, menjadi bayangan lalu menghilang di telan subuh.

R terbangun  di atas sofa dengan secangkit kofi yang sudah dingin di atas mejanya. Dia membasuh wajahnya, merapikan kumisnya sembari mencoba mengingat tentang segala hal yang baru saja di alaminya. Dia tidak bisa mengingat segalanya, dia hanya ingin tentang bar bernama midnight dan sebuah tempat yang bernama Dunia Lewat Tengah Malam. Namun karena sulit untuk mengingat itu semua terkadang dia mulai mengarang cerita tentang tempat itu.

Seperti pada hari Jumat sebelumnya, dia bekerja di perpustakaan menyusun buku-buku, memeriksa buku-buku baru dan banyak lagi hal lain yang dilakukannya dan ketika jam pulang kerja sudah dekat dia akan berbincang dengan rekan kerjanya dan menceritakan tentang Dunia Lewat Tengah Malam yang tadi dikarangnya. Jelas saja rekan kerjanya itu mentertawakannya dan mengatakan bahwa semua itu hanya rekaannya belaka. Dan setelah itu hidupnya kembali seperti biasa. Menutup sorenya dengan makanan kesukaannya asam-manis ikan goreng kremes.

Lalu apalah intinya Dunia Lewat Tengah Malam itu?. Pikir R setelah menghabiskan makanannya. Ah, mungkin saja bukan apa-apa. Pikirnya pula sembari menyalakan pematik emasnya.

~

“Sudah berapa lama kamu mengoleksinya?.” Tanya seorang teman pada Loli.

Loli mencoba menghitung. “Kurang lebih 4 tahun.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Kok bisa awet?.”

Loli mengerutkan keningnya. “Karena dia tidak kubunuh!.” Jawanya cepat kemudian pergi begitu saja sambil memasang kerudung merah dan memungut tas keranjang berisi roti yang sejak tadi diletakkannya di atas rumput.

“Kamu mau kemana?.” Tanya temannya lagi yang cukup kesal karena ditinggalkan begitu saja.

Loli berpaling sejenak. “Mau berkunjung ke rumah nenek. Nenek sedang sakit di hutan.” Dia pun melanjutkan lagi langkahnya sambil meloncat dan bernyanyi riang.[]

_____________________________

Salam kenal semuanya, yang sudah baca sampai selesai banyak-banyak terima kasih nih. Jangan lupa untuk berkomentar agar tulisan berikutnya bisa lebih bagus lagi. Temukan juka aku di :

Youtube : http://youtube.com/channel/UCSU0ZN6wDAmYv1Yu3qyoUpQ

Facebook : https://www.facebook.com/loganue.s

Twitter : @alpiannor

Hemel #Bab 4 : Rusa

BAB 4

Nonami :

Rusa

HARI KEPERGIAN smakin dekat, aku sangat gugup namun sekaligus bersemangat, sore setelah pelajaran berakhir, aku menunggu Hemel di gudang berhantu, aku tahu dia masih terlihat tidak yakin dengan rencana pergi dari Pensionnat untuk mencari Eto. Namun aku terus mencoba meyakinkannya. Dan mungkin sedikit memaksanya.

Hemel memang tidak menyangkal lagi semua yang aku ucapkan, dia menurut saja ketika kuminta daftar barang bawaan miliknya yang sudah di kumpulkannya. Ada cukup banyak barang di dalam daftarnya tapi barang-barang yang menurutku tidak terlalu penting dibawa langsung aku coret.

Kebanyakan barang yang kami kumpulkan berasal dari ruang perlengkapan, sedangkan bekal makanan, kami kumpulkan dari sisa makan kami, lalu beberapa botol susu yang sengaja tidak kami minum setiap pagi. Namun ada juga yang aku ambil dari dapur seperti potongan roti. Dan satu hal lagi yang juga penting aku ambil dari dapur; pematik.

Memang mengumpulkan barang-barang itu bukanlah hal yang mudah, apalagi seperti senter atau payung. Aku harus menyelinap di tengah malam ketika semua orang sudah tidur, menyusuri koridor remang-remang dan sunyi sendirian. Sendirian, benar-benar sendirian.

Aku tidak tahu apakah Hemel juga menyelinap di tengah malam, tapi sekali pun aku tidak pernah berjumpa dengannya ketika aku menyelinap. Aku tidak mau bertanya padanya bagaimana caranya mendapatkan barang-barang bawaannya itu, karena yang terpenting semua barang-barang yang kami butuhkan sudah dikumpulkan.

Dan sore ini setelah pelajaran usai, aku langsung menuju gudang berhantu, aku menunggu Hemel di dalam gudang sambil berjalan mondar-mandir tidak sabaran. Hemel memang agak lambat jika diajak bertemu. Aku ngerti, mungkin dia harus menghindari anak-anak lain terlebih dahulu ketika mau pergi kesini. Tapi hari ini dia benar-benar terlambat!.

Saat aku memutuskan untuk melihat ke luar gudang, Hemel akhirnya muncul dengan napas ngos-ngosan. Tubuhnya kotor dengan lumpur, sepatunya juga basah, setiap kali dia melangkah akan terdengar suara sepatunya yang berisi lumpur.

“Kamu kenapa?!,” cukup lama aku membuka mulutku ketika melihat keadaan Hemel.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya masuk melewatiku kemudian duduk di atas peti kayu sembari mencengkram jari-jarinya.

“Kamu jatuh?,” tanyaku lagi meminta penjelasan.

“Anak-anak mendorong ku ke lumpur.” Jawabnya dengan suara yang pelan.

Aku menghela napas. Sebenarnya aku agak kesal melihat Hemel datang dengan keadaan seperti itu, ditambah lagi dia benar-benar terlambat. Aku juga kesal kenapa dia tidak mencoba melawan atau membela diri. Dasar pecundang.

“Kenapa kamu enggak melawan mereka sih!,” ucapku kesal sambil menyilangkan tangan dan berdiri di hadapannya.

Dia tidak menjawab dan hanya tunduk.

“Kalau kamu enggak ngelawan, kamu bakal dikerjain terus sampai kapan pun.”

Dia masih diam saja.

“Hey,” teriakku dengan kesal sebab dari tadi aku bicara tidak diresponnya.

Dia mengangkat wajahnya namun tetap saja tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Kamu itu kalau aku ngomong didengerin enggak sih?.”

Dia malah menundukkan kembali kepalanya.

*Plaaakkk…..

Aku menampar pipinya cukup keras. “Kamu itu emang nyebelin ya!.” Aku hampir berteriak ketika mengucapkan itu.

Dia memegang pipinya yang memerah kemudian menatap kearahku.

“Maafkan aku!.” Ucapnya dengan wajah memelas.

Tiba-tiba saja aku merasa iba padanya. Sepertinya aku sudah keterlaluan padanya sampai menamparnya. Tapi aku benar-benar kesal dibuatnya.

Aku duduk disebelahnya. “Maafkan aku sudah menamparmu,” aku benar-benar menyesal sudah melakukan itu. “Aku cuman kesal sama kamu dan juga sama mereka semua. Mereka enggak akan pernah berhenti ngelakuin ini jika kamu enggak melawan.”

Kami pun membisu setelah itu, kami hanya duduk bersebelahan di atas peti kayu, sembari menjuntaikan kaki kami dan mendengarkan kesunyian disekitar kami.

“Apa besok kita benar-benar akan pergi?,” akhirnya Hemel membuka mulutnya.

Aku mengangguk. “Iya, kita emang harus pergi, sebab Eto enggak punya waktu banyak buat nungguin kita.”

“Nonami!.” Suara Hemel benar-benar serius bahkan kali ini dia menatapku dengan matanya yang sedikit sendu itu. “Apa kamu suka sama Eto?.”

Aku tidak pernah menyangka kalau Hemel akan bertanya seperti itu. Pertanyaan itu cukup membuat aku kesulitan untuk memberikan jawaban.

“Sejak pertama kali aku datang ke sini kan sudah sama dia.” Lalu ada jeda dikata-kata ku. Aku sedang memikirkan kata selanjutnya. “Jadi dia itu sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Lagi pula aku selalu merasa bahwa keberadaan kami di sini punya alasan yang sama. Alasan yang sama-sama enggak kami ketahui.”

“Oh,” Hemel hanya merespon demikian.

“Emangnya kenapa kamu kok nanya gitu?.”

“Enggak, aku cuman merasa kalau kalian berdua dekat banget.”

Aku mengangguk mencoba memahami apa yang ada dipikiran Hemel. “Kamu juga dekat sama Eto.” Aku diam menunggu respon dari Hemel. Namun Hemel tidak berkata apa pun. “Oleh sebab itu aku ngajak kamu buat pergi mencari dia.” Lanjutku sambil memperlihatkan senyumku padanya.

Hemel tersenyum walau hanya sekilas. Bisa kulihat garis di dekat bibirnya ketika dia tersenyum, garis yang membuat wajahnya tidak terlalu menyedihkan daripada biasanya. Entah kenapa aku jadi menyukai garis senyum itu. Aku benar-benar enggak ngerti.

“Jadi, besok kita berangkatnya kapan?.” Sikap Hemel terasa berbeda daripada hari-hari sebelumnya.

“Bagusnya kita pergi pagi-pagi sekali. Sebelum semua orang bangun.”

“Kenapa enggak sore aja?.”

“Akan lebih mudah jika kita memulainya di siang hari.” Jawabku singkat.

Dia mengangguk tanda setuju.

Aku turun dari peti kayu tempat kami duduk, kemudian menyuruhnya juga turun. Aku mengajaknya untuk keluar gudang dan menuju jalan kecil di belakang gudang yang dipenuhi dengan tumpukan bangku kayu.

“Kita akan keluar dari situ,” tunjukku kearah pagar rendah disamping tumpukan bangku.

“Seperti apa ya dunia di luar sana!,” ucap Hemel dengan suara yang sangat pelan.

Aku memandang kearahnya lalu tersenyum. “Besok kita akan tau!.”

Kami pun berpisah di koridor tak jauh dari gudang berhantu. Aku berlari lebih dulu meninggalkan Hemel yang berjalan pelan dan melambaikan tangannya kearahku. Dia tersenyum, senyum dengan garis di dekat bibirnya.

Kami tidak bicara malam itu, kami juga menjaga jarak agar tidak muncul kecurigaan di mata orang-orang. Semakin dekat waktunya, perasaanku malah semakin panik dan was-was. Prasangkaku orang-orang terus mengawasi kami, seakan mereka tahu apa yang sudah kami rencanakan.

Tenang lah, mereka enggak tau apa-apa. Aku mencoba menenangkan diriku. Tetapi hingga jam tidur tiba dan aku berbaring di atas tempat tidurku, kegelisahan itu tetap saja terus muncul.

Suara jam dinding begitu jelas terdengar di telingaku, demikian juga dengan suara air keran yang menetes di kamar mandi di seberang kamar asrama kami. Lampu kamar sudah diredupkan, anak-anak sudah tidur semua. Berapa lama lagi?. Aku bertanya-tanya. Perasaan ini benar-benar menyiksa.

Hingga subuh datang aku masih saja terjaga, padahal mataku sangat mengantuk. Tapi aku tidak boleh tidur, tak ada waktu lagi untuk tidur, karena aku harus bangun, mengambil ransel yang berisi perlengkapanku di dalam kardus di bawah tempa tidurku, lalu menyelinap keluar menuju gudang berhantu.

Aku harus melakukannya sekarang.

Aku tidak menyangka udara sedingin ini saat subuh. Padahal aku sudah mengenakan jaket rajutan yang cukup tebal. Keadaan diluar masih gelap dan orang-orang masih tidur tentunya. Namun ketika aku hampir mencapai koridor utama yang akan mengantarkanku ke halaman depan, suara gema langkah kaki terdengar dari arah depan.

Aku membelok cepat kesamping lemari sapu dan bersembunyi disampingnya. Aku menahan napas ketika suara langkah tadi terdengar sangat jelas.

Seorang lelaki tua berambut perak, lewat sambil membawa sekeranjang botol susu. Si pengantar susu. Pikirku tanpa bergerak sedikit pun. Dia tidak menyadari keberadaanku, dia hanya berlalu sambil bersiul-siul pelan. Namun ketika aku ingin keluar dari persembunyianku dan melanjutkan langkahku, suara serak itu mengagetkanku.

“Hey, mau kemana kamu?.”

Aku berpaling dan mendapati lelaki pengantar susu tadi berdiri menghadap kearahku yang mematung seketika.

*Dukkk…

Suara pukulan itu menggema di koridor, dilanjutkan dengan suara sekeranjang susu yang jatuh dan pecah di lantai ubin.

Hemel memungut kembali payung yang tadi dipukulkannya kepada lelaki pengantar susu tadi, kemudian berlari kearahku.

Lelaki pengantar susu tadi berteriak cukup keras, dia meneriaki kami lalu meminta tolong bagaikan seekor serigala yang memanggil kawanannya.

Hemel memegang tanganku, dan terus menuntunku untuk berlari melintasi halaman depan yang sunyi dengan rerumputan yang masih basah karena embun. Saat kami mencapai gudang berhantu, bisa kami dengar suara bel berdering menjalari setiap sudut Pensionnat. Dan saat suara bel tadi mencapai gudang berhantu, aku dan Hemel sudah meloncat ke balik pagar dan berlari semampu kami ke dalam hutan yang tidak kami kenal jalurnya.

Suara bel semakin menjauh dari pendengaran. Itu bagus artinya kami berada di jalur yang benar. Semakin jauh dari Pensionnat. Tapi Hemel masih saja berlari dan tidak mau melepaskan jabatan tangannya, sampai-sampai aku hampir terseret dibuatnya.

Karena terlalu cepat berlari, kaki kami pun tersangkut oleh tumbuhan merambat, kami terguling namun masih berjabatan tangan, hingga akhirnya kami telentang menghadap langit dengan napas yang ngos-ngosan.

“Kamu enggak apa-apa?.” Tanya Hemel yang terbaring di sampingku.

Aku menoleh kearahnya, kemudian mengangguk sembari tersenyum. Kami bangkit perlahan kemudian memungut ransel kami lalu mengecek isinya. Untunglah semuanya masih utuh, bahkan beberapa botol susu yang kukira pecah, ternyata masih utuh.

Semua pohon terlihat sama, semak belukar menghiasi sekitar. Kami hanya berdiri di antara pepohonan, melihat kesekitar sebelum akhirnya Hemel memutuskan untuk menentukan jalur yang akan kami ambil.

Suara bel Pensionnat sudah tidak terdengar lagi dan entah sudah seberapa jauh kami berjalan. Kadang kami hanya menjadikan matahari sebagai penunjuk jalan. Walau kami kadang tidak pernah tahu apakah kami hanya berputar-putar di tempat yang sama. Sebab semuanya terlihat sama saja.

“Kita istirahat dulu ya!.” Pintaku sambil bertumpu pada ke dua lutut.

Hemel melepaskan ranselnya dan menyandarkannya ke batang pohon. “Sepertinya sudah hampir tengah hari.” Dia melengah melihat kearah langit.

Aku mengeluarkan sebotol air mineral kemudian menawari rasa kering di tenggerokanku. Setelah aku selesai, botol tadi kuberikan kepada Hemel. Dia juga minum beberapa teguk. Namun ketika aku menyimpan kembali botol minuman tadi, suara beberapa langkah kaki menginjak dedaunan kering terdengar cukup jelas.

Aku dan Hemel tidak bergerak, kami mendengarkan suara tadi dengan seksama. Dan ketika aku berpaling kearah Hemel, dia sudah ada di hadapanku, memegang tanganku kemudian menujuk ke atas pohon. Dia mengawasi sekitar sedangkan aku naik ke atas pohon dengan cepat. Setelah aku di atas, Hemel mengambil ranselnya kemudian juga naik ke pohon yang sama.

Suara langkah tadi semakin jelas dan dekat. Aku dan Hemel berlindung di dahan pohon, mengintip ke bawah dengan hati-hati. Seekor rusa melintas perlahan di bawah kami, ukurannya cukup besar, tanduknya bercabang bagaikan mahkota. Rusa tadi berhenti tiba-tiba, kemudin diam seperti sedang mendengarkan sekitar.

*Wuuusss…..

Sesuatu melayang kearah rusa tadi, menancap tepat di leher rusa tadi dan dalam hitungan detik rusa tadi ambruk.

Aku benar-benar kaget, tapi sebisaku agar tidak bersuara, kututup mulutku, kutahan napasku, saat aku melirik kearah Hemel, dia mengangkat telunjuknya kearah bibirnya.

Dua orang laki-laki dengan topi beasboll berwarna hitam mengenakan baju kaos polos berwarna biru dan celana loreng, muncul dari semak-semak, berdiri di kedua sisi rusa tadi. Di tangan kanan mereka terpegang pistol hitam. Salah satu dari kedua lelaki tadi menendang rusa yang tidak berdaya itu.

“Anak-anak itu benar-benar menyusahkan!,” keluh salah satunya.

“Iya. Tapi sudah cukup lama juga enggak ada yang kabur.” Dinyalakannya sebatang rokok yang tadi diambilnya dari kantong celan.

“Sebelum gelap kita harus menemukan mereka.”

“Dasar anak-anak bodoh, mereka kira bisa bertahan hidup di alam liar seperti ini.”

“Iya, mereka belum mendapatkan pelatihan bertahan hidup.”

Lelaki yang merokok tadi beranjak dari tempatnya berdiri. “Ayo, kita cari mereka.” Nada bicaranya terdengar mengeluh.

Dua lelaki tadi pun pergi meninggalkan rusa yang masih terkapar.

Hingga tengah hari berlalu, kami tidak turun dari atas pohon, kami hanya memastikan bahwa keadaan sudah aman untuk melanjutkan perjalanan kami. Kami tidak bicara, kami hanya diam dan mendengarkan dengan seksama. Baru kusadari kalau hutan itu tidak benar-benar sunyi, suara serangga, burung dan hewan lainnya memenuhi setiap penjuru.

Tiba-tiba rusa tadi bangkit begitu saja, diam sejenak lalu bergerak menjauhi pohon tempat kami berada. Ternyata cuma peluru bius. Pikirku cukup lega.

“Nonami, ayo kita turun.” Ajak Hemel.

Kami pun turun dari pohon, tapi ketika kami sudah berada di bawah barulah kami sadar bahwa ada banyak kawanan rusa di sekitar kami, mereka seperti keluar dari semak-semak dan berdiri menghadap kearah kami. Tanduk mereka terlihat mengancam, tatapan mata mereka tajam memperhatikan.

Aku merapat kearah Hemel kemudian memegang tangannya erat.

Kawanan rusa tadi bergerak mendekat. Entah mereka marah atas apa yang tadi terjadi pada teman mereka tadi. Aku gelisah, takut dan tak tahu harus berbuat apa. Apa rusa benar-benar bisa menyerang manusia?.Pikirku tak percaya.[]

 

Hemel #Bab 3 : Konsep

BAB 3

Hemel :

Konsep

INI ADALAH hari ke-2 setelah Eto dibawa pergi, setiap bangun pagi aku selalu melihat ke seberang tempat tidurku dan berharap Eto ada berbaring disana. Tampat tidur itu hanya terlihat dingin membeku dan mungkin sudah banyak dihinggapi debu.

Tapi aku masih percaya bahwa Eto pasti akan kembali. Bila memang enggak hari ini, mungkin besok atau lusa. Aku selalu meyakinkan dirilku sendiri. Menguatkan diriku sembari membuat diriku tidak terlihat seperti biasanya. Aku sudah lelah dikerjai oleh anak lain.

Seperti pagi itu ketika kami semua sarapan. Aku duduk di tempat paling jauh dari anak-anak lain, memunggungi mereka agar mereka tidak melihat wajahku. Menghabiskan makananku secepatnya dan berencana untuk segera pergi ke aula besar menunggu upaca pagi seperti biasanya.

Tapi belum sempat aku menghabiskan makananku, Nonami datang dan duduk satu meja denganku, dia duduk tepat di hadapanku, meletakkan nampan makanannya hingga kudengar suara sendok dan gerpunya terhentak.

Mau ngapain dia. Pikirku dengan cemas, karena yang aku pikirkan saat itu hanyalah Nonami pasti akan mengerjaiku. Walau selama ini dia enggak pernah ngelakuin itu.

Dan andai aku punya keberanian untuk menoleh ke belakang, mungkin bisa kulihat anak-anak lain sedang menatap kearah kami dan menunggu apa yang akan segera terjadi.

Tapi aku hanya tunduk seolah tidak melihat kedatangannya, kusuap sayur-sayuranku dengan cepat sampai-sampai aku hampir tersedak karenanya. Dan dari sisi mataku bisa kulihat gelasku yang berada di depan nampanku bergerak mendekat. Ternyata Nonami mendorongnya.

“Jangan mencuri perhatian anak lain, kalau kamu enggak ingin dikerjain.”

Aku mengangkat wajahku sedikit dan melihat kearah Nonami yang tajam menatap bola mataku. Kuambil gelas minumku lalu aku minum pelan-pelan. Dan saat aku meletakkan gelasku kembali, dengan cepat aku menoleh ke belakang dan melihat kearah anak-anak lain yang sibuk dengan makanan mereka dan kericuhan mereka ngobrol.

Syukurlah enggak ada yang memperhatikanku. Aku merasa lega. Nonami. Seakan pikiranku mengingatkan tentang gadis yang duduk di hadapanku.

Nonami mengunyah makannya perlahan dan tatapan matanya masih tidak beranjak dariku. Bisa kulihat pergerakan bibirnya yang menyembunyikan gigi-gigi putihnya sedang mengunyah. Lalu tiba-tiba dia menghentikan kunyahannya.

“Aku satu meja sama kamu bukan berarti aku mau berteman denganmu,” suaranya sangat ketus.

Aku tidak menanggapinya, aku kembali tunduk dan mencoba menghabiskan makanku.

“Aku Cuma mau tau, apa kamu tau tentang Eto?.”

Dengan cepat aku mengangkat kembali wajahku dan mata kami pun beradu begitu saja. Entah apa yang ada dipikirannya saat melihat wajahku keheranan menatap dirinya. Tapi pertanyaan itu hampir sama dengan apa yang ada di dalam pikiranku. Aku selalu berpikir bahwa Nonami pasti tahu di mana Eto saat ini.

Huh, ternyata dia juga enggak tau. Entah kenapa aku merasa kecewa dan mengangkat kedua alisku sambil mencibir.

“Ternyata kamu juga enggak tau ya,” nada bicara Nonami terdengar kecewa kemudian disangganya dagu dengan telapak tangan kirinya. “Benar-benar enggak ada gunanya!,” lanjutnya lagi sambil kembali menyuap makanannya.

Aku kembali tunduk sambil menghelakan napas. Jika aku emang enggak berguna lalu kamu yang juga enggak tau sebaiknya disebut apa!. Aku mengerutu dalam hati kesal.

“Tapi kayaknya dia dibawa ke rumah kaca yang menghadap kelaut itu deh!.” Nada bicara Nonami mengecil.

“Rumah kaca?,” ulangku dengan nada bertanya.

“Eto enggak pernah cerita ya!,” Nonami cukup terkejut ketika tau bahwa aku gak tau menahu tentang rumah kaca. “Teman macam apa kamu kok enggak tau tentang hal seperti itu.”

Ingin rasanya aku menjawabnya dan berteriak di hadapannya. Sebab dari tadi nada bicaranya terus saja merendahkanku. Tapi karena memang tidak ada keberanian di diriku untuk melakukan itu, hingga bel pertanda waktu sarapan sudah selesai berbunyi aku hanya diam dan mencoba menulikan telingaku dari ucapannya.

Bel berbunyi aku bangkit dan pergi meninggalkannya. Tapi dia malah mengikutiku yang saat itu hampir berlari menuju aula besar. Ketika mencapai pintu aula besar yang sudah terbuka, aku berpaling kebelakang dan merasa lega dia sudah tidak ada lagi di belakang ku.

Saat Miss. Erena berpidato di depan, aku malah terus mencari Nonami, ternyata saat itu dia berdiri di barisan paling depan bersama teman-teman perempuannya. Sebenarnya aku cukup penasaran tentang rumah kaca yang dibilangnya tadi, kenapa Eto tidak pernah bercerita tentang hal itu, dan jika Nonami tau tempat itu pastilah dia juga pernah pergi kesana bersama Eto. Mungkin aja sebelum mereka berdua di Pensionnat. Pikirku menaik kesimpulan.

Dari pertanyaan Nonami tadi sepertinya dia juga hanya menebak kalau Eto dibawah ke rumah kaca. Ah, akan kutanya Miss. Amelia tentang hal ini. Miss. Amelia pasti mengetahui di mana Eto saat ini.

Entah apa yang dibicarakan oleh Miss.Erena di depan itu, aku tidak mendengarkannya, tiba-tiba saja semua anak bubar dari aula besar dan kembali membentuk barisan untuk memulai kelas pertama di pagi itu.

Lagi-lagi aku tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran pagi itu, aku masih saja memikirkan tentang rumah kaca yang disebut Nonami tadi dan juga tentang keadaan Eto saat ini. Apakah dia baik-baik saja, apakah dia berada di tempat yang aman!?. Secara intuisi aku merasa bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi pada Eto. Sesuatu yang sepertinya kurang baik. Inilah yang ku benci dari diriku, selalu aja mikir negatif untuk sesuatu yang enggak ku ketahui kebenarannya.

Ketika bel istirahat yang artinya waktu makan siang datang, anak-anak berebut keluar kelas. Aku menunggu keadaan tenang barulah keluar. Namun yang menunggu semuanya tenang tidak hanya aku, tapi Nonami juga masih duduk di bangkunya, dia sedang menulis sesuatu di bukunya kemudian merobek lembar bukunya tadi dan melipatnya.

Setelah keadaan sunyi aku pun bangkit untuk keluar, ketika aku sudah mencapai pintu, Nonami menarik tanganku dengan cukup kasar, kemudian menjejalkan lipatan kertas yang dipegangnya ke dalam saku celanaku. Tanpa mengucapkan apa pun dia berlari meninggalkanku begitu saja.

Aneh!.

Sambil berjalan menuju kantin, aku membaca surat aneh Nonami tadi.

Temui aku di gudang berhantu sore nanti!

Apa maksudnya Nonami mengajakku untuk bertemu. Jika dia memang ingin bicara kenapa tidak langsung saja bicara. Bodoh sekali aku, jelas saja Nonami enggak ingin anak lain tau kalau dia bicara padaku!.

Sejak makan siang sampai kami kembali masuk kelas, Nonami tidak lagi mendekatiku, bahkan melihat kearahku pun tidak dilakukannya. Padahal aku berkali-kali memperhatikannya dan mencoba menggali perasaan penasaran yang ada di dadaku.

Di tengah pelajaran Enigma, hujan malah turun lebat. Prof. Turing seakan tidak perduli dengan keadaan cuaca, dia terus saja menjelaskan di depan kelas tanpa menutup jendela yang ada dii samping papan tulis. Alhasil angin diluar menerpa jendela dan membuat kertas-kertas di atas mejanya berhambur ke lantai.

Semua anak hanya menatapnya yang dengan cepat menangkap kertas-kertas tadi. Aku membantunya merapikan kertas tadi dan meletakkannya kembali ke atas mejanya. Jendela pun ditutupnya dan pelajaran dimulai kembali.

Prof. Turing menjelaskan tentang Sandi Morse. Sandi Morse adalah sistem representasi huruf, angka, tanda baca dan sinyal dengan menggunakan titik atau garis yang disusun mewakili karakter tertentu. Diciptakan oleh Samuel F.B. Morse dan Alfred Vail pada tahun 1835.

Dari balik laci Prof. Turing mengeluarkan sebuah alat yang terlihat sangat tua. Alat itu terbuat dari lempengan logam yang dirakit sedimikian rupa untuk menyampaikan Sandi Morse. Prof. Turing juga menjelaskan itu adalah salah satu benda yang digunakan sejak Perang Dunia ke-2. Dan setelah dia menjelaskan dengan terperinci barulah satu per satu anak-anak disuruh maju untuk mencoba langsung alat itu.

Semua anak sangat antusias untuk mencoba, menciptakan Sandi Morse mereka sendiri dan kemudian ditebak oleh anak-anak lainnya. Lalu gimana denganku, apa aku ikut mencoba?. Sayang juga jika harus dilewatkan kesempatan seperti itu. Tapi aku sangat malas menjadi bahan ejekan dan tertawaan nantinya jika aku maju ke depan dan mencobanya.

Saat-saat seperti ini lah aku selalu berharap kalau Eto ada di sini.

Hampir semua anak sudah mencoba tombol transmisi itu, namun karena bel tanda pelajaran berakhir berdering, semua anak pun langsung bubar. Beberapa dari mereka pergi ke lapangan asrama untuk bermain bola sedangkan anak lainnya menyibukkan diri dengan urusan mereka masing-masing.

Aku masih ingat dengan pesan Nonami yang mengajak aku bertemu di gudang berhantu. Dia pasti sudah ada di sana menungguku, namun aku masih berada di kelas, membantu Prof. Turing menyusun berkas-berkasnya yang tadi berhamburan sesuai dengan nomor halaman yang ada di bagian bawah kertas.

“Kenapa tadi kamu enggak coba tombol transmisi ini,” tunjuk Prof. Turing pada benda yang ada di samping tumpukan kertas.

“Bel keburu berdering,” jawab ku beralasan.

“Kamu mau coba?.”

Aku mengangguk sambil mendekat kearahnya yang duduk di depan tombol transmisi tadi.

“Kamu udah ngertikan gimana cara kerja benda ini. Okey, sekarang coba kau kirimkan sebuah sandi morse.”

“(…—…).”

Prof. Turing cukup terkejud dengan sandi Morse yang aku buat.

“Kamu tau itu dari mana?.” Tanyanya penasaran.

“Saya sering pinjam buku di perpustakaan tentang sandi Morse.”

“Kamu tau itu artinya apa?.”

“SOS,” jawabku singkat.

“Itu memang SOS atau tanda bahwa adanya bahaya yang telah disepakati oleh berbagai perjanjian maritim internasional,” perjelas Prof. Turing. Dia terlihat senang dengan apa yang aku lakukan.

Setelah semua berkas sudah tersusun rapi. Prof. Turin menyimpan kembali tombol transmisi morse tadi ke dalam laci. Dan saat dia keluar dari kelas untuk kembali ke kantornya, aku mengikutinya dari samping.

“Maaf, Prof ada hal yang ingin saya tanyakan.”

Prof Turing menghentikan langkahnya. “Bertanya apa?.”

“Ada kenal kan dengan teman satu kelas saya yang bernama Eto. 2 hari yang lalu dia dibawa pergi dari Pensionnat dengan mobil Rolls-royce hitam. Apa anda tau kemana dia pergi?.”

Ekspresi wajah Prof. Turing cukup kaget dengan pertanyaanku itu. “Iya aku tau Eto, dia juga salah satu muridku yang cerdas.” Dipegangnya pundakku seolah aku harus kuat menghadapi sesuatu. “Kamu enggak usah memikirkan dimana dia sekarang, yang pasti dia baik-baik aja kok.” Senyum dipaksakan mengembang di wajah Prof. Turing.

“Apa dia akan kembali lagi?.”

Pertanyaanku tidak ada habisnya, aku terlalu teguh dengan itu semua sehingga berharap Prof. Turing mau memberitahuku sesuatu yang sedang aku cari.

Prof. Turing melihat kearah arlojinya lalu kemudian berkata. “Aku harus segera ke kantor, sebab aku ada janji dengan Miss. Erena.” Prof. Turing pergi begitu saja tanpa memberikan jawaban yang aku harapkan.

Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap Prof. Turing, seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikannya dariku. Apa pun itu yang pasti itu adalah hal yang sangat sensitif untuk dibahas.

Sambil menyusuri koridor dan menjenguk sekilas kearah halaman asrama yang dipenuhi oleh anak-anak bermain. Aku mencari-cari apakah Nonami ada disana. Gadis itu kayaknya emang pergi ke gudang berhantu. Pikirku yang langsung melangkah menuju gudang berhantu.

Tempat itu benar-benar sunyi dan tidak terurus. Rumput-rumput yang tumbuh di halaman kecilnya itu tumbuh cukup lebat sehingga jika aku berdiri disana maka sepatuku pasti tidak akan terlihat.

Jantungku berdebar kecang ketika sudah sangat dekat dengan pintu gudang yang renggang. Aku menjenguk ke dalam gudang dan mencari-cari apakah Nonami ada di sana, namun tak ada siapa-siapa disana. Dan ketika aku ingin berpaling untuk segera meninggalkan tempat mengerikan itu, Nonami muncul di belakangku, memegang tanganku dan menarikku masuk ke dalam gudang.

Wajahnya terlihat sangat serius ketika dia melepaskan tanganku dan menghadap kearahku.

“Kamu mungkin merasa aneh kenapa aku ngajak kamu ketemuan disini. Karena Cuma disini tempat yang enggak bakalan ada anak lain melihat kita.”

Aku hanya menatapnya tanpa berbicara sepatah kata pun.

“Aku tau, kamu pasti juga mau tau di mana Eto saat ini. 2 hari ini aku terus mencari tau tentang itu lewat para guru dan enggak 1 pun dari mereka yang mau memberitauku.” Dia berhenti sejenak. “Dan kamu ternyata juga sebuah jalan buntu!.” Nadanya terdengar kecewa.

“Hari ini aku akan bertanya sama Miss. Amelia!,” aku akhirnya berucap walau sangat pelan.

“Enggak ada gunanya. Aku udah mencobanya. Kamu benar-benar mau tau kan di mana Eto sakarang?,” Nonami mendekatkan wajahnya kearahku. “Aku punya rencana tentang itu!.”

“Rencana apa?,” aku penasaran.

“Aku sangat yakin Eto pasti dibawa ke rumah kaca yang menghadap ke laut itu. Dan jika benar kita harus pergi kesana. Terakhir aku dan Eto berada di sana, kami berdua enggak bisa mengingat banyak hal tentang hidup kami sebelumnya.”

“Maksudmu kita pergi ke luar Pensionnat!?.” Nada bicaraku sangat tidak setuju dengan ide itu. “Kamu tau sendiri kan apa yang terjadi pada anak-anak yang keluar dari Pensionnat?.”

Nonami mengigit bibirnya agar terlihat teguh. “Dan Eto saat ini ada di luar Pensionnat.”

Aku tidak bisa menyangkalnya, namun aku masih tidak berani memutuskan untuk menyetujuinya.

“Kita harus mempersiapkan ini dalam waktu 3 hari, semakin cepat semakin baik. Eto enggak punya waktu untuk menunggu kita sangat lama.” Kata-kata Nonami seolah aku sudah menyetujuinya.

“Kenapa kamu mengajakku, kenapa enggak berangkat sendiri aja.” Aku masih bersikeras.

“Karena ku kira kamu adalah sahabat baik Eto.”

Lagi-lagi aku tidak bisa menyangkal itu.

“Sejak pertama aku dan Eto datang ke tempat itu, ada banyak pertanyaan dalam kepala kami. Pertama tentang mengapa kami enggak bisa mengingat apa pun tentang hidup kami sebelumnya. Kedua mengapa kita dilarang untuk pergi jauh hingga ke balik pagar. Ketiga mengapa anak-anak lain dan juga kamu enggak menyadari sebuah konsep tentang keluarga padahal di pelajaran drama kita mempelajarinya. Mengapa kita enggak punya orang tua dan saudara. Ada banyak lagi pertanyaan yang muncul di sini selain hal-hal yang aku sebutkan tadi. Mungkin jawabannya cuma 1, karena ada sesuatu yang di tutup-tutupi dari kita.”

“Tapi itu kan cuma drama!.”

“Konsep orang tua dan saudara itu enggak cuma drama, seharusnya hal itu benar-benar ada di kehidupan. Itulah mengapa tadi aku bilang kalau kalian enggak memahami itu semua. Atau kita memang dibuat untuk enggak memahami itu semua.”

Aku benar-benar mengira kalau Nonami memang sudah gila, semua kata-katanya terus mendesakku dan tidak akan berhenti sampai aku menyetujuinya. Aku pun berpura-pura menyetujuinya karena lelah mendengar paksaannya, tapi walau pun demikian aku juga mulai bertanya-tanya tentang konsep yang tadi di katakan Nonami.

Setiap sore ketika jam pelajaran berakhir Nonami akan menungguku di gudang berhantu dan mengemas beberapa barang dan perlengkapan yang sudah kami kumpulkan. Aku tidak yakin akan benar-benar pergi dari Pensionnat, walau Nonami terlihat sangat yakin. Dan hari kepergian semakin dekat, aku semakin gelisah.[]

Baca Sebelumnya

Hemel #Bab 2 : Pecundang

BAB 2

Nonami :

Pecundang!

TEMPAT ITU berada di pinggir pantai, mengapa aku berkata demikian karena aku bisa melihat laut yang biru di balik dinding kaca yang mengelilingi kami. Tepatnya aku dan Eto. Tempat itu mungkin akan lebih indah jika senja datang namun ketika aku pikirkan tentang; apakah laut itu menghadap ke barat maka aku mulai ragu kalau tempat itu akan seindah yang kubayangkan apabila senja tiba.

Aku dan Eto hanya duduk tanpa ngobrol, terkadang kami tanpa sengaja beradau pandang dalam hitungan detik, namun kemudian memalingkan wajah kami masing-masing seolah kami sedang memikirkan hal lain. Ah, mungkin cuma aku yang mikirin hal lain, sedangkan Eto mungkin aja enggak!.

Aku memikirkan tentang banyak hal, mulai dari alasan aku berada ditempat ini, menunggu apa, dan dari mana aku berasal. Aku tidak bisa mengingat semua kenangan yang sudah lalu. Apa aku punya hal seperti itu?.

Yang bisa aku ingat hanyalah namaku, dan juga Eto. Ya aku tahu yang duduk satu sofa denganku itu bernama Eto, tapi aku tidak bisa mengingat bahwa kami pernah bertemu sebelumnya.

Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku merasa sudah sangat mengenalnya sejak lama. Namun ingatan tentang itu sedikit pun tidak pernah bisa aku ingat. Karena terlalu dalam memikirkannya aku merasa stres dengan situasi yang ada, aku jadi meremas jari-jari ku sendiri agar aku bisa merasa santai. Tapi percuma saja perasaan yang ada di dadaku terus memaksaku untuk mengucapkan sesuatu.

“Eto!.” Panggilku tanpa bisa kutahan lagi.

Wajah itu kali ini benar-benar menatapku, lekat dan dihiasi dengan rasa cemas serta gelisah. “Sebenarnya kita ngapain sih disini?.” Dia malah bertanya padaku.

Aku mengigit bibir bawah bagian kiri saat berpikir untuk menjawab pertanyaannya itu. “Em…aku juga enggak tau!.” Entah kenapa aku malah tersenyum nyengir kearahnya.

“Kamu Nonami ya?.” Tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

Setelah itu kami tidak tahu harus membicarakan apa, semuanya terasa sangat canggung. Mungkin karena kami berdua tidak bisa mengingat apa pun tentang kami makanya kami akhirnya memilih untuk bungkam sambil memandangi ujung laut yang tenang itu.

Kupegang renda rok ku yang berwarna putih gading. lalu kuperhatikan pakaian yang aku kenakan. Aku suka dengan rompi berkancing hitam yang kami kenakan, aku juga suka kemeja putih yang tersembunyi di baliknya. Intinya aku merasa nyaman dengan pakaian itu, demikian juga mungkin dengan Eto yang memakai rompi dan kemeja serta celana kain hitam yang begitu rapi ujung-ujung nya dengan bekas setrikaan.

“Apa kamu bisa ingat sesuatu sebelum ini?.” Kali ini aku memulai lagi percakapan.

“Oh…Eh…aku juga lagi mikirin itu,” jawab Eto jujur.

“Sejak tadi aku juga mikirin itu. Mikirin semua yang asing namun terasa dikenal. Kayak kamu, sudah kucoba untuk mengingat tapi tetap aja ingatan tentang kamu enggak ada di kepalaku. Yang ku tau cuma namamu dan perasaan bahwa kita saling tau aja.”

Eto menggaruk kepalanya. “Susah juga ya.” Kemudian dia bangkit dan merapat ke dinding kaca.

Mataku terus mengikuti pergerakannya, dia mengetuk dinding kaca beberapa kali. Dari ekspresi wajahnya sepertinya dia ingin bilang kalau dinding itu benar-benar asli kaca. Ah, bodoh sekali dilihat bagaimana pun itu memang kaca.

Aku bangkit kemudian berdiri disampingnya.

“Kamu ngapain sih?.” Nadaku protes

“Memastikan aja.” Jawabnya serius. “Apa pemandangan laut itu juga asli?.”

Benar-benar pertanyaan yang bodoh pikirku. Tapi belum sempat aku mengucapkan apa pun, pintu yang ada di antara pot bunga mawar itu terbuka perlahan. Dua orang lelaki berbadan jangkung dengan setelan jas putih masuk dilanjutkan dengan seorang wanita yang memiliki garis-garis usia senja penuh wibawa.

“Kalian berdua akan segera berangkat,” ucapnya.

Seolah ucapan itu menyuruh kami berdua bersiap-siap melakukan sesuatu

Aku dan Eto nurut aja apa yang diperintahkan, kami mengikuti langkah wanita tadi keluar dari ruangan kaca, menuruni puluhan anak tangga yang memutar seakan tiada habisnya. Entah kenapa Eto memegang tanganku, menuntunku mengikuti langkah wanita yang ada di depan kami.

Sesampai di lantai dasar langkah wanita tadi tidak berhenti. Ketika aku menoleh kebelakang, dua orang lelaki jangkung dengan setelan jas putih terus bergerak mengikuti langkah kami.

Mau kemana ini!. Pikirku penasaran sambil mencengkram jemari Eto cukup kuat. Bukan karena aku takut, hanya saja aku merasa semua ini seperti tidak wajar saja. Dan saat Wanita tadi membuka pintu utama yang memiliki dua daun pintu, pemandangan halaman luas terhampar di hadapan kami.

Benar-benar luas dengan rerumputan hijau terawat menghiasinya. Di tengah rerumputan yang dipotong pendek itu terdapat sebuah jalan yang cukup untuk menampung dua mobil saling lewat. Jalan itu berujung di depan anak tangga depan pintu, tempat kami berdiri saat ini.

Sebuah mobil Rolls-royce hitam terparkir di samping air mancur kecil yang memiliki patung anak kecil bersayap angsa. Seorang lelaki dengan setelan jas hitam keluar dari pintu depan, pakaiannya sangat rapi, dilengkapi dengan sebuah topi hitam yang menutupi rambut peraknya.

Wanita tadi melanjutkan langkahnya kemudian berhenti di samping pintu mobil tadi. Lelaki yang kutebak sebagai sopir itu membukakan pintu untuk wanita tadi. Namun bukan dia yang masuk ke sana, melainkan aku dan Eto yang disuruh masuk.

Tanpa perotes, kami masuk saja tapi jabatan tangan kami tidak juga terlepas. Kami berdua sama-sama gugup, sama-sama bingung. Karena memang tak tahu harus berbuat apa, makanya kami menurut saja apa yang disuruh.

Wanita tadi tidak masuk, dia menutup pintu mobil dan mundur beberapa langkah dari tempatnya tadi berdiri. Si sopir bersetelan rapi itu masuk ke bangku depan, menyalakan mesin mobil kemudian memutar mobil kearah yang berlawanan.

Aku masih memperhatikan wanita tadi, dia menatap kami begitu dingin. Sampai-sampai ketika mobil sudah memunggunginya dan bergerak menjauh aku masih saja melihat kearahnya sambil menjenguk dari balik kaca belakang.

Aku menatap ke Eto meminta penjelasan padanya, namun Eto hanya menggeleng pertanda bahwa dia juga tidak tahu harus bagaimana. Kusandarkan tubuhku lurus ke depan kemudian kulepaskan jabatan tanganku di jemari Eto.

Bisa kulihat wajah santai si sopir dari kaca spion dan saat dia melirik kearah spion untuk melihat kami di belakang, aku melarikan tatapan mataku ke luar jendela.

Sepanjang jalan hanya berhias pepohonan rindang dan terkadang bisa kulihat beberapa ekor rusa menegakkan leher mereka di balik hutan karena mendengar suara mesin mobil yang melintas.

Perlahan suara musik mengalun dari tape yang ada di dashboard depan mobil. Aku kenal musik ini. Pikirku sambil mengingat.

Blue Moon,” ucap sopir tadi sambil menatap kearah kami lewat spion mobil dan memperlihatkan senyumnya. “Maksudku lagu ini judulnya Blue Moon. Kalian suka?.” Tanyanya seakan dia tahu apa yang ada dipikiranku.

Aku dan Eto coba tersenyum kearahnya, kemudian mengangguk bersama-sama.

“Jazz,” bisik Eto ditelingaku.

Aku memandangnya dan menemukan sesuatu di pikiranku. Iya, ini musik jazz.

Beberapa musk jazz lain juga diputar dalam mobil itu, hingga akhirnya aku tertidur begitu saja. Dan ketika Eto membangunkanku musik-musik itu sudah usai. Mobil mulai melambat dan di depan kami terdapat pintu gerbang besar yang berukir, di samping pintu gerbang tadi terdapat tulisan besar.

“Pensionnat.” Aku membacanya cukup keras.

Si sopir menghentikan mobil antiknya kemudian membuka kaca jendela di sampingnya. Dia menoleh kearah kamera CCTV yang ada di sisi jalan, tak lama kemudian pintu gerbang terbuka secara otomatis.

Itu adalah hari pertamaku dan Eto datang ke Pensionnat, kesan pertama yang masih diselubungi dengan kebingungan. Saat kami keluar dari mobil, bangunan megah Pensionnat membuat kami kagum, dan di seberang tempat kami berdiri, anak-anak ramai sedang bermain.

Beberapa dari mereka melihat kearah kami berdua, dan beberapanya lagi tidak perduli karena asik bermain.

Eto memegang lagi tanganku, aku sedikit kaget karena dia menarikku perlahan dan saat aku berpaling dari anak-anak tadi, aku baru menyadari bahwa Eto disuruh oleh salah satu wanita tua yang memiliki rambut perak sebahu, untuk masuk.

Itu adalah Miss. Erena, Guru kepala di Pensionnat, dia sangat baik namun juga sangat tegas. Dia menjelaskan pada kami tentang peraturan di sana, kemudian menemani kami berkeliling dan menunjukkan kelas serta asrama untuk kami.

Sampai disini semuanya berjalan lancar, anak-anak di sana juga bisa menerima kami, , mungkin karena kami anak baru jadi mereka ingin berteman dengan kami, terutama Eto, anak-anak perempuan yang 1 asrama denganku sering kali menanyaiku tentagn Eto. Walau sebenarnya aku juga tidak tahu sama sekali tentang Eto.

Selain itu ada banyak juga kisah yang ku dengar tentang Pensionnat dari teman-teman baruku itu. Mulai kisah mengerikan hingga kisah memuakkan yang sebenarnya tidak ingin aku dengarkan.

Mereka memberitahuku tentang anak-anak yang diidolakan di kelas, tentang beberapa anak yang tidak mereka sukai dan harus aku jauhi jika ingin memiliki banyak teman. Ini memang terdengar sangat diskriminasi tapi apa mau dikata keadaannya memang seperti itu.

Lalu tiba-tiba suatu hari Eto dekat dengan salah satu anak lelaki pecundang. Pecundang!. Apa aku baru saja mengucapkan kata itu. Terkutuklah aku yang juga mulai ikut-ikutan diskriminasi terhadap orang lain.

Nama anak itu Hemel, dia pendiam dan penyendiri. Dia adalah objek bully paling terkenal di antara semua anak, atau bisa dikatakan dia adalah anak terlemah yang pernah kulihat seumur hidupku ini. Dia tidak pernah melawan, tidak pernah marah ketika diganggu—mungkin saja dia marah—dan tidak pernah mengadukan semua kejahatan anak-anak lain pada para guru.

Dan dari apa yang aku perhatikan tentangnya, dia selalu berusaha agar setiap hari tidak pernah terlihat. Dia itu seperti siput yang selalu mencoba berlindung dalam cangkang namun pada kenyataannya semua orang bisa melihatnya.

Ah, aku malah memperhatikannya!.

Sebenarnya yang aku takutkan adalah Eto. Aku takut Eto dijauhi oleh anak lainnya karena sudah berteman dengan Hemel. Namun anehnya anak lain tidak pernah mempermasalahkan apa pun jika Eto berteman dengan Hemel. Malah setiap kali ada Eto di dekat Hemel, pecundang itu bisa terhindar dari ejekan. Entah apa yang sebenarnya terjadi?.

Mereka berdua sangat akrab, di kelas duduk bersebelahan, ketika makan siang juga satu meja, mungkin jika dihitung-hitung, waktu yang mereka ber-2 habiskan bersama sangatlah banyak.

Memang hal itu bukanlah sebuah masalah, tapi entah kenapa aku merasa cemburu dengan kedekatan mereka. Bagaimana menurutmu, tidak kah sepantasnya yang dekat dengan Eto itu aku, sejak awal kami memulai ini bersama-sama. Aku jadi rindu masa-masa ketika berada di ruang kaca yang menghadap ke laut itu.

Aku berkata demikian bukan berarti Eto mencoba menjauhiku, kalian tak usah berprasangka seperti itu. Hanya saja jika aku di dekat Eto dan diantara kami muncul Hemel, sedikit banyak aku merasa terganggu, apalagi semua anak tidak menyukai pecundang itu.

Ingin rasanya aku bertanya pada Eto mengapa dia ingin berteman dengan orang seperti Hemel. Tapi aku tidak punya keberanian menanyakan itu, aku tidak ingin Eto menilaiku diskriminasi terhadap  Hemel. Walau sebenarnya setelah ku pikir-pikir sifatku mulai berubah sejak pertama kali aku datang ke Pensionnat.

Mengapa aku tiba-tiba saja membenci Hemel, padahal belum tentu Hemel membenciku. Mengapa aku mengikuti tren anak-anak yang tidak menyukainya. Lalu ketika memasuki kelas 2 tingkat 1, aku bertekat untuk membersihkan sifat burukku  tentang Hemel.

Maksudku bukan juga aku akan mendekatinya dan memohon maaf, hanya saja aku akan berusaha tidak berprasangka buruk terhadap dirinya, dan mencoba menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa membuatnya tersiksa.

Sebentar lagi kami akan kelas 3, dan akhir-akhir ini aku juga mulai memikirkan tentang hal itu. Aku sudah memutuskan jika kelas 3 nanti aku akan mengambil jurusan Bahasa, dan ini cukup membuat aku sedikit merasa lega sekaligus kecewa.

Leganya aku akan terpisah kelas dengan Hemel karena menurut cerita Eto beberapa hari yang lalu Hemel dan dia akan mengambil jurusan Enigma ketika kelas 3 nanti.

Nah, mungkin kalian sudah bisa menebak apa yang membuat aku juga merasa kecewa. Jika kalian menebak tentang pilihan jurusan Eto, maka kalian memiliki prasangka yang tepat.

Aku akan pisah kelas dengan Eto dan itu berarti waktuku untuk bisa melihat Eto atau bersamanya semakin berkurang. Oleh sebab itu selagi ada waktu untuk saat ini aku mencoba untuk bisa selalu dekat dengan Eto, walau Hemel juga selalu ada didekatku. Huh!.

Sebelum aku tidur tadi malam, aku merencanakan apa yang akan kulakukan bersama Eto besoknya nanti, namun ketika pagi datang semua rencanaku itu gagal begitu saja.

Pagi itu seperti biasa sebelum memulai kelas dan setelah sarapan pagi kami berkumpul di aula besar, kami duduk berdasarkan kelas kami masing-masing. Aku duduk disebelah kanan Eto dan Hemel duduk disebelah kirinya. Kalian bisa ngertikan yang aku rasain tentang Hemel!.

Dan setelah kami menyanyikan lagu wajib kami yang berjudul Pensionnat, Miss.Erena berpidato seperti biasa, dia sedikit marah pagi itu karena beberapa anak kelas 5 ketauan merokok di balkon depan asrama mereka pada malam hari. Entah darimana mereka mendapatkan barang haram itu, tapi yang jelas sisa-sisa puntung rokoknya masih berserakan di balkon.

Miss.Erena menjelaskan tentang bahayanya merokok, bahwa kami berbeda dari orang-orang yang hidup di luar Pensionnat, kami adalah anak-anak spesial yang mempunyai tujuan luar biasa yang akan merubah dunia.

Aku tidak terlalu menyukai pidato itu, atau bahkan hampir semua anak di aula itu merasa bosan mendengarkan Miss. Erena bicara.

Dari dulu hingga hari ini kata-kata spesial yang diucapkan oleh Miss. Erena tentang kami selalu tidak pernah tertinggal, sehingga bagi kami semua menjadi spesial itu tidak sehebat seperti yang dia katakan. Apanya yang spesial!. Gerutuku dalam hati.

Setelah Miss. Erena puas menjelaskan tentang rokok, kali ini dia menjelaskan kepada kami lagi tentang haramnya berpacaran di Pensionnat. Dia juga menjelaskan akibatnya dan menceritakan sedikit tentang sepasang kekasih yang pada akhirnya diusir dari Pensionnat dan ditemukan tewas di dalam hutan.

Jelas semua anak ngeri mendengar cerita itu, namun tidak satu orang pun yang mau mengubris tentang hal itu. Karena biar bagaimana pun yang namanya perasaan tidak akan bisa ditahan hingga kapan pun.

Tapi untuk anak kelas 1 sampai dengan kelas 2 memang belum ada yang ketauan berpacaran atau memang tidak ada 1 orang pasangan pun. Sedangkan anak kelas 3 hingga kelas 5 banyak sekali yang katanya berpacaran, dan semua itu dilakukan secara diam-diam. Tapi aku enggak terlalu yakin tentang hal itu, sebab akibatnya akan sangat mengerikan seperti yang Miss Erena bilang tadi.

Diusir dan mati di hutan!. Aku sedikit merinding kerika membayangkannya.

Setelah Miss.Erena menutup upaca pagi itu, semua anak bubar dan berbaris menuju kelas masing-masing untuk memulai pelajaran pertama. Namun Miss.Amelia memanggil Eto dan membawanya keluar dari barisan kami.

Dan selama 10 menit berikutnya aku tidak lagi melihat Eto, aku hanya melihat Hemel yang berada dibarisan paling belakang dengan kepala menunduk.

Setelah anak kelas 1 keluar dari aula kini giliran kami yang keluar menuju koridor. Koridor panjang dengan jendela-jendela kaca tinggi menghiasi. Kami menuju kelas dengan tertib seperti biasa.

Miss. Amelia menuntun langkah kami, namun Eto masih tidak ada dibarisan. Kemana dia?. Aku celingak-celinguk mencarinya. Lalu tatapanku terhenti pada Hemel yang keluar dari barisan dan berdiri menghadap jendela.

Aku menghentikan langkahku dan merapat kearah jendela. Anak-anak yang lain juga berhenti sedangkan Miss. Amelia masih berjalan. Dan ketika Miss. Amelia menyadari bahwa anak kelas 2 berhenti mengikuti langkahnya, dia berpaling dan memanggil kami agar kembali tertib.

Dari jendela bisa kulihat mobil Rolls-royce hitam terparkir di halaman depan dan Eto dituntun oleh Miss. Erena menuju pintu mobil tadi yang memang sudah terbuka.

Miss. Amelia mengulangi perintahnya, aku pun dan juga Hemel dengan terpaksa harus kembali dalam barisan.

Sebelum aku benar-benar tidak bisa melihat ke arah jendela karena kami harus membelok ke koridor berikutnya, aku menjinjitkan kakiku dan melengakkan kepalaku kearah halaman.

Mobil Rolls-royce hitam itu bergerak keluar melewati pagar utama.

Apa Eto dibawa balik ke rumah kaca yang menghadap ke laut itu?. Aku bertanya-tanya dalam hati. Dan ketika aku melirik kearah Hemel, dia terlihat sedih dan berkali-kali berpaling melihat kearah jendela sama sepertiku.[]

NB : Makasih sudah baca sampai ke bagian ini, jangan lupa kasih reting, like dan komen cerita ini biar saya tetap semangat nulisnya… 🙂

Baca cerita sebelumnya