Hemel #Bab 4 : Rusa

BAB 4

Nonami :

Rusa

HARI KEPERGIAN smakin dekat, aku sangat gugup namun sekaligus bersemangat, sore setelah pelajaran berakhir, aku menunggu Hemel di gudang berhantu, aku tahu dia masih terlihat tidak yakin dengan rencana pergi dari Pensionnat untuk mencari Eto. Namun aku terus mencoba meyakinkannya. Dan mungkin sedikit memaksanya.

Hemel memang tidak menyangkal lagi semua yang aku ucapkan, dia menurut saja ketika kuminta daftar barang bawaan miliknya yang sudah di kumpulkannya. Ada cukup banyak barang di dalam daftarnya tapi barang-barang yang menurutku tidak terlalu penting dibawa langsung aku coret.

Kebanyakan barang yang kami kumpulkan berasal dari ruang perlengkapan, sedangkan bekal makanan, kami kumpulkan dari sisa makan kami, lalu beberapa botol susu yang sengaja tidak kami minum setiap pagi. Namun ada juga yang aku ambil dari dapur seperti potongan roti. Dan satu hal lagi yang juga penting aku ambil dari dapur; pematik.

Memang mengumpulkan barang-barang itu bukanlah hal yang mudah, apalagi seperti senter atau payung. Aku harus menyelinap di tengah malam ketika semua orang sudah tidur, menyusuri koridor remang-remang dan sunyi sendirian. Sendirian, benar-benar sendirian.

Aku tidak tahu apakah Hemel juga menyelinap di tengah malam, tapi sekali pun aku tidak pernah berjumpa dengannya ketika aku menyelinap. Aku tidak mau bertanya padanya bagaimana caranya mendapatkan barang-barang bawaannya itu, karena yang terpenting semua barang-barang yang kami butuhkan sudah dikumpulkan.

Dan sore ini setelah pelajaran usai, aku langsung menuju gudang berhantu, aku menunggu Hemel di dalam gudang sambil berjalan mondar-mandir tidak sabaran. Hemel memang agak lambat jika diajak bertemu. Aku ngerti, mungkin dia harus menghindari anak-anak lain terlebih dahulu ketika mau pergi kesini. Tapi hari ini dia benar-benar terlambat!.

Saat aku memutuskan untuk melihat ke luar gudang, Hemel akhirnya muncul dengan napas ngos-ngosan. Tubuhnya kotor dengan lumpur, sepatunya juga basah, setiap kali dia melangkah akan terdengar suara sepatunya yang berisi lumpur.

“Kamu kenapa?!,” cukup lama aku membuka mulutku ketika melihat keadaan Hemel.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya masuk melewatiku kemudian duduk di atas peti kayu sembari mencengkram jari-jarinya.

“Kamu jatuh?,” tanyaku lagi meminta penjelasan.

“Anak-anak mendorong ku ke lumpur.” Jawabnya dengan suara yang pelan.

Aku menghela napas. Sebenarnya aku agak kesal melihat Hemel datang dengan keadaan seperti itu, ditambah lagi dia benar-benar terlambat. Aku juga kesal kenapa dia tidak mencoba melawan atau membela diri. Dasar pecundang.

“Kenapa kamu enggak melawan mereka sih!,” ucapku kesal sambil menyilangkan tangan dan berdiri di hadapannya.

Dia tidak menjawab dan hanya tunduk.

“Kalau kamu enggak ngelawan, kamu bakal dikerjain terus sampai kapan pun.”

Dia masih diam saja.

“Hey,” teriakku dengan kesal sebab dari tadi aku bicara tidak diresponnya.

Dia mengangkat wajahnya namun tetap saja tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Kamu itu kalau aku ngomong didengerin enggak sih?.”

Dia malah menundukkan kembali kepalanya.

*Plaaakkk…..

Aku menampar pipinya cukup keras. “Kamu itu emang nyebelin ya!.” Aku hampir berteriak ketika mengucapkan itu.

Dia memegang pipinya yang memerah kemudian menatap kearahku.

“Maafkan aku!.” Ucapnya dengan wajah memelas.

Tiba-tiba saja aku merasa iba padanya. Sepertinya aku sudah keterlaluan padanya sampai menamparnya. Tapi aku benar-benar kesal dibuatnya.

Aku duduk disebelahnya. “Maafkan aku sudah menamparmu,” aku benar-benar menyesal sudah melakukan itu. “Aku cuman kesal sama kamu dan juga sama mereka semua. Mereka enggak akan pernah berhenti ngelakuin ini jika kamu enggak melawan.”

Kami pun membisu setelah itu, kami hanya duduk bersebelahan di atas peti kayu, sembari menjuntaikan kaki kami dan mendengarkan kesunyian disekitar kami.

“Apa besok kita benar-benar akan pergi?,” akhirnya Hemel membuka mulutnya.

Aku mengangguk. “Iya, kita emang harus pergi, sebab Eto enggak punya waktu banyak buat nungguin kita.”

“Nonami!.” Suara Hemel benar-benar serius bahkan kali ini dia menatapku dengan matanya yang sedikit sendu itu. “Apa kamu suka sama Eto?.”

Aku tidak pernah menyangka kalau Hemel akan bertanya seperti itu. Pertanyaan itu cukup membuat aku kesulitan untuk memberikan jawaban.

“Sejak pertama kali aku datang ke sini kan sudah sama dia.” Lalu ada jeda dikata-kata ku. Aku sedang memikirkan kata selanjutnya. “Jadi dia itu sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Lagi pula aku selalu merasa bahwa keberadaan kami di sini punya alasan yang sama. Alasan yang sama-sama enggak kami ketahui.”

“Oh,” Hemel hanya merespon demikian.

“Emangnya kenapa kamu kok nanya gitu?.”

“Enggak, aku cuman merasa kalau kalian berdua dekat banget.”

Aku mengangguk mencoba memahami apa yang ada dipikiran Hemel. “Kamu juga dekat sama Eto.” Aku diam menunggu respon dari Hemel. Namun Hemel tidak berkata apa pun. “Oleh sebab itu aku ngajak kamu buat pergi mencari dia.” Lanjutku sambil memperlihatkan senyumku padanya.

Hemel tersenyum walau hanya sekilas. Bisa kulihat garis di dekat bibirnya ketika dia tersenyum, garis yang membuat wajahnya tidak terlalu menyedihkan daripada biasanya. Entah kenapa aku jadi menyukai garis senyum itu. Aku benar-benar enggak ngerti.

“Jadi, besok kita berangkatnya kapan?.” Sikap Hemel terasa berbeda daripada hari-hari sebelumnya.

“Bagusnya kita pergi pagi-pagi sekali. Sebelum semua orang bangun.”

“Kenapa enggak sore aja?.”

“Akan lebih mudah jika kita memulainya di siang hari.” Jawabku singkat.

Dia mengangguk tanda setuju.

Aku turun dari peti kayu tempat kami duduk, kemudian menyuruhnya juga turun. Aku mengajaknya untuk keluar gudang dan menuju jalan kecil di belakang gudang yang dipenuhi dengan tumpukan bangku kayu.

“Kita akan keluar dari situ,” tunjukku kearah pagar rendah disamping tumpukan bangku.

“Seperti apa ya dunia di luar sana!,” ucap Hemel dengan suara yang sangat pelan.

Aku memandang kearahnya lalu tersenyum. “Besok kita akan tau!.”

Kami pun berpisah di koridor tak jauh dari gudang berhantu. Aku berlari lebih dulu meninggalkan Hemel yang berjalan pelan dan melambaikan tangannya kearahku. Dia tersenyum, senyum dengan garis di dekat bibirnya.

Kami tidak bicara malam itu, kami juga menjaga jarak agar tidak muncul kecurigaan di mata orang-orang. Semakin dekat waktunya, perasaanku malah semakin panik dan was-was. Prasangkaku orang-orang terus mengawasi kami, seakan mereka tahu apa yang sudah kami rencanakan.

Tenang lah, mereka enggak tau apa-apa. Aku mencoba menenangkan diriku. Tetapi hingga jam tidur tiba dan aku berbaring di atas tempat tidurku, kegelisahan itu tetap saja terus muncul.

Suara jam dinding begitu jelas terdengar di telingaku, demikian juga dengan suara air keran yang menetes di kamar mandi di seberang kamar asrama kami. Lampu kamar sudah diredupkan, anak-anak sudah tidur semua. Berapa lama lagi?. Aku bertanya-tanya. Perasaan ini benar-benar menyiksa.

Hingga subuh datang aku masih saja terjaga, padahal mataku sangat mengantuk. Tapi aku tidak boleh tidur, tak ada waktu lagi untuk tidur, karena aku harus bangun, mengambil ransel yang berisi perlengkapanku di dalam kardus di bawah tempa tidurku, lalu menyelinap keluar menuju gudang berhantu.

Aku harus melakukannya sekarang.

Aku tidak menyangka udara sedingin ini saat subuh. Padahal aku sudah mengenakan jaket rajutan yang cukup tebal. Keadaan diluar masih gelap dan orang-orang masih tidur tentunya. Namun ketika aku hampir mencapai koridor utama yang akan mengantarkanku ke halaman depan, suara gema langkah kaki terdengar dari arah depan.

Aku membelok cepat kesamping lemari sapu dan bersembunyi disampingnya. Aku menahan napas ketika suara langkah tadi terdengar sangat jelas.

Seorang lelaki tua berambut perak, lewat sambil membawa sekeranjang botol susu. Si pengantar susu. Pikirku tanpa bergerak sedikit pun. Dia tidak menyadari keberadaanku, dia hanya berlalu sambil bersiul-siul pelan. Namun ketika aku ingin keluar dari persembunyianku dan melanjutkan langkahku, suara serak itu mengagetkanku.

“Hey, mau kemana kamu?.”

Aku berpaling dan mendapati lelaki pengantar susu tadi berdiri menghadap kearahku yang mematung seketika.

*Dukkk…

Suara pukulan itu menggema di koridor, dilanjutkan dengan suara sekeranjang susu yang jatuh dan pecah di lantai ubin.

Hemel memungut kembali payung yang tadi dipukulkannya kepada lelaki pengantar susu tadi, kemudian berlari kearahku.

Lelaki pengantar susu tadi berteriak cukup keras, dia meneriaki kami lalu meminta tolong bagaikan seekor serigala yang memanggil kawanannya.

Hemel memegang tanganku, dan terus menuntunku untuk berlari melintasi halaman depan yang sunyi dengan rerumputan yang masih basah karena embun. Saat kami mencapai gudang berhantu, bisa kami dengar suara bel berdering menjalari setiap sudut Pensionnat. Dan saat suara bel tadi mencapai gudang berhantu, aku dan Hemel sudah meloncat ke balik pagar dan berlari semampu kami ke dalam hutan yang tidak kami kenal jalurnya.

Suara bel semakin menjauh dari pendengaran. Itu bagus artinya kami berada di jalur yang benar. Semakin jauh dari Pensionnat. Tapi Hemel masih saja berlari dan tidak mau melepaskan jabatan tangannya, sampai-sampai aku hampir terseret dibuatnya.

Karena terlalu cepat berlari, kaki kami pun tersangkut oleh tumbuhan merambat, kami terguling namun masih berjabatan tangan, hingga akhirnya kami telentang menghadap langit dengan napas yang ngos-ngosan.

“Kamu enggak apa-apa?.” Tanya Hemel yang terbaring di sampingku.

Aku menoleh kearahnya, kemudian mengangguk sembari tersenyum. Kami bangkit perlahan kemudian memungut ransel kami lalu mengecek isinya. Untunglah semuanya masih utuh, bahkan beberapa botol susu yang kukira pecah, ternyata masih utuh.

Semua pohon terlihat sama, semak belukar menghiasi sekitar. Kami hanya berdiri di antara pepohonan, melihat kesekitar sebelum akhirnya Hemel memutuskan untuk menentukan jalur yang akan kami ambil.

Suara bel Pensionnat sudah tidak terdengar lagi dan entah sudah seberapa jauh kami berjalan. Kadang kami hanya menjadikan matahari sebagai penunjuk jalan. Walau kami kadang tidak pernah tahu apakah kami hanya berputar-putar di tempat yang sama. Sebab semuanya terlihat sama saja.

“Kita istirahat dulu ya!.” Pintaku sambil bertumpu pada ke dua lutut.

Hemel melepaskan ranselnya dan menyandarkannya ke batang pohon. “Sepertinya sudah hampir tengah hari.” Dia melengah melihat kearah langit.

Aku mengeluarkan sebotol air mineral kemudian menawari rasa kering di tenggerokanku. Setelah aku selesai, botol tadi kuberikan kepada Hemel. Dia juga minum beberapa teguk. Namun ketika aku menyimpan kembali botol minuman tadi, suara beberapa langkah kaki menginjak dedaunan kering terdengar cukup jelas.

Aku dan Hemel tidak bergerak, kami mendengarkan suara tadi dengan seksama. Dan ketika aku berpaling kearah Hemel, dia sudah ada di hadapanku, memegang tanganku kemudian menujuk ke atas pohon. Dia mengawasi sekitar sedangkan aku naik ke atas pohon dengan cepat. Setelah aku di atas, Hemel mengambil ranselnya kemudian juga naik ke pohon yang sama.

Suara langkah tadi semakin jelas dan dekat. Aku dan Hemel berlindung di dahan pohon, mengintip ke bawah dengan hati-hati. Seekor rusa melintas perlahan di bawah kami, ukurannya cukup besar, tanduknya bercabang bagaikan mahkota. Rusa tadi berhenti tiba-tiba, kemudin diam seperti sedang mendengarkan sekitar.

*Wuuusss…..

Sesuatu melayang kearah rusa tadi, menancap tepat di leher rusa tadi dan dalam hitungan detik rusa tadi ambruk.

Aku benar-benar kaget, tapi sebisaku agar tidak bersuara, kututup mulutku, kutahan napasku, saat aku melirik kearah Hemel, dia mengangkat telunjuknya kearah bibirnya.

Dua orang laki-laki dengan topi beasboll berwarna hitam mengenakan baju kaos polos berwarna biru dan celana loreng, muncul dari semak-semak, berdiri di kedua sisi rusa tadi. Di tangan kanan mereka terpegang pistol hitam. Salah satu dari kedua lelaki tadi menendang rusa yang tidak berdaya itu.

“Anak-anak itu benar-benar menyusahkan!,” keluh salah satunya.

“Iya. Tapi sudah cukup lama juga enggak ada yang kabur.” Dinyalakannya sebatang rokok yang tadi diambilnya dari kantong celan.

“Sebelum gelap kita harus menemukan mereka.”

“Dasar anak-anak bodoh, mereka kira bisa bertahan hidup di alam liar seperti ini.”

“Iya, mereka belum mendapatkan pelatihan bertahan hidup.”

Lelaki yang merokok tadi beranjak dari tempatnya berdiri. “Ayo, kita cari mereka.” Nada bicaranya terdengar mengeluh.

Dua lelaki tadi pun pergi meninggalkan rusa yang masih terkapar.

Hingga tengah hari berlalu, kami tidak turun dari atas pohon, kami hanya memastikan bahwa keadaan sudah aman untuk melanjutkan perjalanan kami. Kami tidak bicara, kami hanya diam dan mendengarkan dengan seksama. Baru kusadari kalau hutan itu tidak benar-benar sunyi, suara serangga, burung dan hewan lainnya memenuhi setiap penjuru.

Tiba-tiba rusa tadi bangkit begitu saja, diam sejenak lalu bergerak menjauhi pohon tempat kami berada. Ternyata cuma peluru bius. Pikirku cukup lega.

“Nonami, ayo kita turun.” Ajak Hemel.

Kami pun turun dari pohon, tapi ketika kami sudah berada di bawah barulah kami sadar bahwa ada banyak kawanan rusa di sekitar kami, mereka seperti keluar dari semak-semak dan berdiri menghadap kearah kami. Tanduk mereka terlihat mengancam, tatapan mata mereka tajam memperhatikan.

Aku merapat kearah Hemel kemudian memegang tangannya erat.

Kawanan rusa tadi bergerak mendekat. Entah mereka marah atas apa yang tadi terjadi pada teman mereka tadi. Aku gelisah, takut dan tak tahu harus berbuat apa. Apa rusa benar-benar bisa menyerang manusia?.Pikirku tak percaya.[]

 

Komentar