BAB 1
Hemel :
Andai Saja Eto Ada Disini
SORE ITU sekitar pukul 4 setelah kelas matematika selesai aku duduk di bawah pohon akasia yang ditanam dengan sengaja di sepanjang tembok depan asrama. Aku duduk bersandar memperhatikan anak-anak lain yang sedang asik bermain sepakbola. Suara mereka sangat berisik saling teriak, seolah mereka semua tuli.
Tapi semua itu tidaklah penting bagiku, karena aku tidak terlalu suka berolah raga, sebenarnya bukan oleh raganya yang tidak kusuka, melainkan mereka yang sedang bermain itu. Setiap kali aku berada dekat dengan mereka, pastilah aku menjadi bahan olokan yang tidak ada habisnya.
Kadang aku berpikir mengapa orang seperti mereka harus ada di dunia ini, sehingga orang sepertiku jadi terlihat sangat bodoh. Tapi sekali lagi semua itu bukanlah hal yang penting bagiku, karena yang terpenting sore itu adalah aku bisa melihat sebuah mobil hitam datang dan membawa seseorang yang sedang aku tunggu.
Hingga bel pertanda kami harus segera mandi berbunyi, mobil hitam yang kutunggu tidak juga kunjung datang. Aku berlari menyebrangi lapangan, sambil melengak melihat kearah langit yang malah berubah mendung.
Aku tertinggal dari anak-anak yang lain, aku bisa melihat mereka berebut masuk ke asrama. Ketika aku hampir sampai kearah pintu, semua anak sudah masuk. Lalu anak terakhir yang masih berdiri di depan pintu tertawa mengejekku kemudian menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Anak-anak yang lain mengintip di jendela kearahku, mereka mentertawaiku seolah aku ini binatang langka dan aneh yang pernah mereka lihat.
Kugedor pintu dengan kesal sambil berteriak minta bukakan, namun semakin aku berteriak mereka semua malah semakin mentertawakanku. Aku mundur dari pintu kemudian menatap wajah mereka.
Aku berteriak sekuat tenagaku, meluapkan segala kekesalanku, tapi semakin aku marah semakin mereka semua bahagia. Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa merasa bahagia di atas penderitaanku, padahal sekali pun aku tidak pernah mengganggu mereka.
Petir menggelegar di langit, aku tunduk sambil menutup telinga. Sedangkan anak-anak lain berlarian meninggalkan jendela. Mereka tidak membukakanku pintu, mereka meninggalkaku begitu saja.
Aku menangis ketakutan, hujan mulai turun, aku kedinginan di atas rumput. Jendela-jendela sudah kosong, namun pintu masih terkunci. Aku duduk di tingkatan batu yang ada di depan pintu.
Andai saja Eto ada di sini. Pikirku sambil menyilangkan tangan merangkul kedua kakiku.
Aku berhenti menagis, atau air mataku memang sudah habis. Aku melamun walau tubuhku menggigil kedinginan. Aku melamunkan Eto dan waktu-waktu kami bersama.
Eto adalah sahabat satu-satunya yang aku miliki, menurut dari data yang kami lihat dibuku nilai pelajaran kami, dia memang lebih tua dariku beberapa hari, namun hal itu tidak terlalu penting karena jika kalian melihat kami berjalan beriringan di tengah halaman depan kalian pasti tidak bisa memastikan siapa diantara kami berdua yang lebih tua.
Aku kenal dengan Eto ketika aku menjalani tahun ke-2 di Pensionnat. Agak aneh memang jika Pensionnat menerima murid baru, karena sebelumnya Miss Erena—Guru Kepala—pernah bilang pada kami di aula besar pada suatu pagi bahwa masa Pensionnat akan segera berakhir dan angkatanku merupakan generasi terakhir.
Artinya tidak akan ada anak kelas 1 setelah kami kelas 2. atau tidak akan ada anak kelas 2 setelah kami kelas 3. Begitulah seterusnya hingga kami kelas 5 dan Pensionnat berakhir. Lalu mengapa Eto bisa masuk sebagai murid baru dan berada di kelas 2?.
Memang tidak ada anak lain yang mempertanyakan hal itu, atau mereka memang tidak terlalu memperhatikannya, namun bagiku pertanyaan itu penting demikian juga dengan penjelasan rasional yang ingin kudengar.
Aku tak enak saja menanyakan hal itu langsung pada Eto karena waktu itu aku masih belum terlalu mengenalnya dengan baik. Aku lebih memilih pergi ke ruang kantor Miss Erena dan menuntut jawaban yang bisa memuaskanku.
Walau sebenarnya Miss Erena sangat enggan menjelaskannya tapi aku terus memaksanya. Dia pun memberitahuku walau tidak terlalu detil. Intinya, katanya. Eto itu pindahan dari sekolah lain yang merupakan cabang dari Pensionnat. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ada tempat lain seperti Pensionnat, atau cabang apalah yang sejenis itu.
Mungkin ini juga alasan mengapa Miss Erena enggan menjelaskannya padaku, sebab dikepalaku muncul pertanyaan lain setelah ku tahu bahwa ada tempat lain seperti Pensionnat. Setelah dia menjelaskan dengan sangat singkat, dia langsung menyuruhku keluar dari ruangannya dengan alasan banyak kerjaan dan tidak bisa diganggu.
Memang agak aneh sih!. Tapi setelah ku pikir-pikir ternyata memang tidak terlalu penting juga tentang dunia di luar sana karena kami tidak akan pernah diperbolehkan menyentuh dunia luar, bahkan untuk keluar dari lingkungan Pensionnat pun kami sangat dilarang. Ada banyak kisah menyeramkan yang kami dengar tentang anak-anak yang berusaha lari dari Pensionnat dan itu cukup membuat kami semua merinding tak bisa tidur membayangkannya.
Ketika aku sudah mulai akrab dengan Eto aku pun akhirnya menanyakan padanya tentang tempat yang pernah disebutkan Miss Erena padaku, tapi sayang sekali Eto sendiri tidak bisa mengingatnya, semuanya terasa kabur. Semakin diingat semua itu malah semakin tidak bisa diingat. Katanya!.
Tapi walau pun demikian Eto ingat dengan salah satu murid perempuan yang bernama Nonami; berambut panjang lurus sebahu, memiliki poni yang sangat sempurna seperti lekukan pelangi yang begitu indah. Tidak hanya itu wajah Nonami juga sangat enak dipandang.
Setelah kuselidiki lebih lanjut dari catatan kehadiran di kelas ternyata Nonami pertama kali masuk kelas sama dengan waktu Eto. Berarti bisa ditarik kesimpulan bahwa mereka berdua berasal dari tempat yang sama namun mereka tidak bisa mengingat tentang tempat itu.
Eto dan Nonami cukup dekat, tapi walau pun demikian Nonami tidak terlalu dekat denganku. Aku agak ragu ketika mengatakan ini. Tepatnya kami tidak dekat sedikit pun. Bahkan ketika kami bertiga duduk di bangku halaman yang ada di bawah salah satu pohon akasia, aku dan dia tidak pernah saling ngobrol.
Mungkin saja itu karena pengaruh teman perempuannya yang lain yang suka mengolok-ngolok ku. Atau dia takut berteman denganku, takut malah dibenci oleh teman-teman yang lain. Tapi apa pentingnya juga hal seperti itu kupikirkan, oleh karena itulah aku tidak pernah juga bertanya pada Eto alasan Nonami memperlakukanku seperti itu. Toh aku sudah terbiasa menjadi domba yang berbulu biru di tengah domba-domba berbulu putih dan normal.
Misalnya saja pada kesempatan yang lain ketika kami makan siang. Aku duduk sendirian di pojok meja panjang dekat lemari, aku tahu Nonami memperhatikanku tapi setiap kali aku melihat kearahnya dia selalu memalingkan wajahnya. Dan ketika Eto datang dan bergabung bersamaku, dia malah datang mengahampiri kami sambil memegang baki makanannya dengan kedua tangan dan memperlihatkan senyum manisnya pada Eto. Hanya pada Eto tidak padaku.
Pernah aku berasumsi dia suka pada Eto. Aku sempat gelisah dengan pemikiran itu. Bagaimana jika nanti mereka berpacaran pastilah Eto akan banyak menghabiskan waktu bersama Nonami. Itu artinya aku akan sendirian lagi dan akan menjadi objek olok-olok yang empuk bagi semua anak di Pensionnat. Tapi setelah kuperhatikan ternyata Eto tidak terlalu tertarik pada Nonami. Atau mungkin itu hanya penilaianku saja, namun aku cukup lega dengan hal itu.
Pernah aku menghayal menjadi Eto, maksudku menjadi sepertinya. Pintar, baik, menyenangkan dan menurutku dia itu anak yang sempurna. Meski pun dia berteman denganku, anak-anak lain tidak pernah menjauhinya, malah sebagian dari mereka terutama murid perempuan sangat suka menggodanya.
Dia sangat ahli dalam segala bidang, bahkan nilai akademiknya di atas rata-rata. Dia selalu mendapat nilai sempurna di kelas drama dan melukis. 2 kelas yang sangat aku beci.
Aku benci kelas drama karen memaksa diriku menjadi orang lain, apalagi kelas melukis. Hm…aku sangat membenci kelas itu. Aku tidak pandai melukis dan setiap kali aku melukis, lukisanku selalu dihina oleh anak lain yang melihat hasil karyaku itu, mereka bilang aku suka melukis hantu, sesuatu yang tidak pernah ada dan aneh.
Aku juga tidak mengerti mengapa aku melukis seperti itu. Tapi setiap kali melukis memang hal seperti itulah yang selalu terpikir di kepalaku. Bisa dibilang aku ini tidak berbakat dalam melukis.
Namun aku sangat terkejud ketika Eto tanpa sengaja menemukan buku gambarku yang kusembunyikan di bawah tempat tidur. Rasanya ingin berlari sambil menutup telingaku saja karena malu dan takut Eto berkomentar negatif terhadap lukisanku itu.
“Lukisanmu luar biasa!.” Ucapannya membuat aku tak bisa menutup mulutku dalam beberapa menit.
Entah karena dia tidak ingin menyinggung perasaanku dengan mengatakan bahwa lukisanku itu sangat jelek. Walau binar di matanya menunjukkan bahwa dia tercengang dan kagum dengan hasil karyaku itu. Tapi aku masih saja meragukannya. Dia ahli dalam beracting, buktinya saja kelas drama selalu mendapat nilai yang sempurna.
Dan hari itu setelah kami semua menghabiskan sebotol susu yang wajib kami minum sebelum tidur, aku terus terjaga di atas tempat tidurku, mengintip di balik selimutku dan memandang kearah Eto yang sudah tertidur di atas tempat tidurnya di seberang tempat tidurku. Aku masih memikirkan tentang lukisanku itu!.
Setiap 1 kamar terdapat 10 tempat tidur, namun tidak semua kamar terisi penuh, seperti kamar yang kami tempati ini hanya terisi 7 orang saja. Setiap kamar dibedakan atas kelas masing-masing.
Di kelasku ada 17 anak laki-laki termasuk aku dan Eto, dan 15 anak perempuan. Sebenarnya aku juga tidak yakin dengan jumlah itu sebab di kelas kadang keadaan jadi sangat kacau, jika kau berada di luar kelas dan mendengar kekacauan yang ada kau pasti mengiri di kelas itu ada 100 orang anak atau bahkan lebih yang sedang menggila.
Tapi mengapa aku bisa tahu jumlah anak laki-laki dan perempuan di kelasku?. Jawabnya adalah dari hitung-hitungan yang aku pikirkan. Tadi aku bilang setiap kamar memiliki 10 tempat tidur. Kamar laki-laki untuk kelasku ada 2 kamar, 1 kamar terisi penuh yang artinya terdapat 10 anak disana. Dan kamar ke-2 adalah kamar kami yang hanya terisi 7 orang anak saja. Jadi jumlah anak laki-laki di kelas berjumlah 17 orang.
Sedangkan untuk anak perempuannya, aku menebak berdaskan analisaku. Aku pernah bilang kan sebelumnya bahwa aku pernah menyelidiki tentang tanggal kehadiran Nonami di kelas. Nonami berada di daftar paling bawah dari nama anak lainnya, yaitu di nomor 32 maka bisa disimpulkan 32 dikurang 17 anak laki-laki, sisanya adalah anak perempuan, yaitu 15 orang.
Kadang aku sedikit bingung dengan apa yang kulakukan. Bahkan tidak pernah ada anak lain yang mau menghitung jumlah teman 1 kelas mereka. Padahal yang menganggap aku teman kan cuma Eto seorang. Biar hal ini tidak penting aku tetap saja melakukan analisa untuk hal itu. Eto menyebutku sebagai mesin pemerhati sekitar.
Gelar itu sepertinya memang cocok untukku yang lebih suka menyendiri dan memperhatikan sekitar. Aku bingung antara bangga dengan hal itu atau malu dengan kenyataan yang ada.
Aku suka menganalisa sesuatu, membuat banyak catatan kecil untuk sebuah kejadian yang ada di sekitarku. Mungkin itu juga alasan mengapa aku sangat menyukai pelajaran Enigma[2]. Aku suka berurusan dengan kode, sandi dan hal sejenis itu. Walau pada waktu aku kelas 1 aku sangat menyukai matematika.
Di kelas 2 terutama ketika memasuki tingkat 2, pelajaran matematika mulai menjadi prioritas ke-2 setelah pelajaran Enigma. Aku baru mengenal pelajaran Enigma dan langsung jatuh hati di hari pertama pelajaran itu dimulai. Aku suka dengan Prof. Turing yang punya gaya bicara berat dan serius, aku suka gayanya yang sedikit bungkuk ketika berdiri, aku suka rambut rapinya yang sudah berwarna perak. Intinya aku sangat menyukai semua aspek yang berhubungan dengan pelajaran Enigma.
Di hari pertama pelajaran Enigma, Prof. Turing menjelaskan tentang mengapa mata pelajaran itu bernama Enigma.
Enigma berasal dari nama sebuah mesin yang diciptakan oleh 2 orang perwira angkatan laut Belanda di tahun 1915 yang kemudian dikembangkan oleh intelijen militer Jerman pada Perang Dunia II. Mesin itu berfungsi untuk membuat pesan rahasia agar tidak bisa diterjemahkan oleh musuh. Sungguh sebuah mesin yang cerdas yang bisa diganti kombinasi kuncinya sebanyak 158 juta lebih. Oleh sebab itu pihak musuh tidak punya banyak waktu untuk bisa memecahkan satu pesan rahasia.
Nilai ku dan Eto di mata pelajaran Enigma selalu bersaing ketat. Seperti yang aku bilang sebelumnya, Eto itu benar-benar hebat dalam semua bidang. Luar biasa tanpa celah.
Dan sekarang sudah memasuki akhir tahun di kelas 2, tinggal beberapa minggu lagi kami akan naik ke kelas 3 tingkat 1. Seperti yang dikatakan oleh Miss. Amelia yang merupakan kepala asrama kami, di kelas 3 tingkat 1 anak-anak akan mulai memasuki kelas jurusan. Jurusan disini terbagi atas 2 jurusan.
Pertama jurusan bahasa dan yang kedua jurusan Enigma. Aku sangat bersyukur Enigma menjadi sebuah jurusan tersendiri karena sudah pasti mata pelajaran Enigma akan dibagi menjadi beberapa bagian dan itu berarti kelas akan banyak dihabiskan dengan pelajaran Enigma saja.
Sama halnya seperti jurusan Bahasa, berarti pelajaran bahasanya akan lebih banyak dan lebih dalam. Namun di antara dua jurusan itu hebatnya mata pelajaran drama dan melukis selalu ada entah apa tujuannya. Mungkin agar aku tidak pernah bisa menyaingi Eto. Pikirku tidak masuk akal.
Denyit suara daun pintu dibuka dari dalam membuyarkan lamunanku. Aku berpaling kebelakang untuk melihat siapa yang sudah membukakanku pintu.
Miss. Amelia berdiri dengan sangat anggun, dia menghampiriku kemudian memasangkan mantel coklatnya yang hangat ke tubuhku. Mantel itu memang kebesaran tapi sangat membuatku nyaman.
“Ayo kita masuk,” suara Miss.Amelia benar-benar menentramkan.
Tanpa menjawab atau mengucapkan sepatah kata pun, aku mengikuti perintahnya itu.
Saat dia menutup kembali pintu, aku menjenguk dari balik tubuhnya kearah luar. Hujan masih turun namun mobil hitam yang kutunggu belum juga kunjung datang.
“Cepatlah kau mandi, sebentar lagi akan makan malam.” Tegurnya yang melihat aku masih berdiri di belakangnya
Aku mengangguk, tapi belum juga beranjak dari tempatku berdiri.
“Ada apa?.” Tanyanya heran.
“Apa Miss Amelia tau kapan Eto akan kembali?.” Akhirnya kutanyakan juga.
Raut wajah Miss. Amelia berubah menjadi murung. “Dia pasti akan kembali, kau tak perlu memikirkannya.” Ucapnya yang kemudian mengulangi kata-katanya menyuruhku untuk segera mandi.
Dengan ekspresi wajah yang kurang puas atas jawaban Miss. Amelia, aku pergi menyusuri lorong menuju kamar untuk mengambil handuk.
Saat aku sudah dekat dengan pintu kamar, salah satu dari anak di kamar itu mengintip dari celah pintu yang renggang. Dia menatapku sejenak kemudian menghilang begitu saja. Mereka pasti akan mentertawakanku. Pikirku kesal namun pasrah.
Tak ada jalan lain selain masuk ke kamar, mengambil handuk dan pergi. Memang secara logika hal itu sangat mudah tapi jika harus mendengar olokan dan tawa mereka yang menyiksa itu semuanya akan terasa sangat berat.
Dengan langkah enggan aku menuju pintu. Saat kubuka pintu dan tubuhku sudah separuh masuk ke kamar, seember air tumpah dari atas. Ternyata itu jebakan. Mantel Miss Amelia jadi basah dan bau, karena ember tadi berisi air yang berasal dari toilet.
Semua anak tertawa serempak. Aku hanya berdiri diam tanpa bisa berbuat apa pun. Ingin rasanya aku menangis atau berteriak disana, tapi semakin aku tersiksa, semakin mereka puas dan mentertawakanku. Aku harus bertahan. Pikirku menguatkan diri.
Andai saja Eto ada disini!. Harapku sambil melanjutkan langkahku diantara tawa yang menyiksaku.[]
________________
Enigma[2]: salah satu mata pelajaran yang ada di kelas 2 tingkat 2. mata pelajaran ini mempelajari tentang kode rahasia.
________________
Baca cerita selanjutnya atau cerita sebelumnya