Hemel #Bab 1 : Andai Saja Eto Ada Disini

BAB 1

Hemel :

Andai Saja Eto Ada Disini

SORE ITU sekitar pukul 4 setelah kelas matematika selesai aku duduk di bawah pohon akasia yang ditanam dengan sengaja di sepanjang tembok depan asrama. Aku duduk bersandar memperhatikan anak-anak lain yang sedang asik bermain sepakbola. Suara mereka sangat berisik saling teriak, seolah mereka semua tuli.

Tapi semua itu tidaklah penting bagiku, karena aku tidak terlalu suka berolah raga, sebenarnya bukan oleh raganya yang tidak kusuka, melainkan mereka yang sedang bermain itu. Setiap kali aku berada dekat dengan mereka, pastilah aku menjadi bahan olokan yang tidak ada habisnya.

Kadang aku berpikir mengapa orang seperti mereka harus ada di dunia ini, sehingga orang sepertiku jadi terlihat sangat bodoh. Tapi sekali lagi semua itu bukanlah hal yang penting bagiku, karena yang terpenting sore itu adalah aku bisa melihat sebuah mobil hitam datang dan membawa seseorang yang sedang aku tunggu.

Hingga bel pertanda kami harus segera mandi berbunyi, mobil hitam yang kutunggu tidak juga kunjung datang. Aku berlari menyebrangi lapangan, sambil melengak melihat kearah langit yang malah berubah mendung.

Aku tertinggal dari anak-anak yang lain, aku bisa melihat mereka berebut masuk ke asrama. Ketika aku hampir sampai kearah pintu, semua anak sudah masuk. Lalu anak terakhir yang masih berdiri di depan pintu tertawa mengejekku kemudian menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

Anak-anak yang lain mengintip di jendela kearahku, mereka mentertawaiku seolah aku ini binatang langka dan aneh yang pernah mereka lihat.

Kugedor pintu dengan kesal sambil berteriak minta bukakan, namun semakin aku berteriak mereka semua malah semakin mentertawakanku. Aku mundur dari pintu kemudian menatap wajah mereka.

Aku berteriak sekuat tenagaku, meluapkan segala kekesalanku, tapi semakin aku marah semakin mereka semua bahagia. Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa merasa bahagia di atas penderitaanku, padahal sekali pun aku tidak pernah mengganggu mereka.

Petir menggelegar di langit, aku tunduk sambil menutup telinga. Sedangkan anak-anak lain berlarian meninggalkan jendela. Mereka tidak membukakanku pintu, mereka meninggalkaku begitu saja.

Aku menangis ketakutan, hujan mulai turun, aku kedinginan di atas rumput. Jendela-jendela sudah kosong, namun pintu masih terkunci. Aku duduk di tingkatan batu yang ada di depan pintu.

Andai saja Eto ada di sini. Pikirku sambil menyilangkan tangan merangkul kedua kakiku.

tumblr_nn7u7cG7Ew1unzjyvo1_540

Aku berhenti menagis, atau air mataku memang sudah habis. Aku melamun walau tubuhku menggigil kedinginan. Aku melamunkan Eto dan waktu-waktu kami bersama.

Eto adalah sahabat satu-satunya yang aku miliki, menurut dari data yang kami lihat dibuku nilai pelajaran kami, dia memang lebih tua dariku beberapa hari, namun hal itu tidak terlalu penting karena jika kalian melihat kami berjalan beriringan di tengah halaman depan kalian pasti tidak bisa memastikan siapa diantara kami berdua yang lebih tua.

Aku kenal dengan Eto ketika aku menjalani tahun ke-2 di Pensionnat. Agak aneh memang jika Pensionnat menerima murid baru, karena sebelumnya Miss Erena—Guru Kepala—pernah bilang pada kami di aula besar pada suatu pagi bahwa masa Pensionnat akan segera berakhir dan angkatanku merupakan generasi terakhir.

Artinya tidak akan ada anak kelas 1 setelah kami kelas 2. atau tidak akan ada anak kelas 2 setelah kami kelas 3. Begitulah seterusnya hingga kami kelas 5 dan Pensionnat berakhir. Lalu mengapa Eto bisa masuk sebagai murid baru dan berada di kelas 2?.

Memang tidak ada anak lain yang mempertanyakan hal itu, atau mereka memang tidak terlalu memperhatikannya, namun bagiku pertanyaan itu penting demikian juga dengan penjelasan rasional yang ingin kudengar.

Aku tak enak saja menanyakan hal itu langsung pada Eto karena waktu itu aku masih belum terlalu mengenalnya dengan baik. Aku lebih memilih pergi ke ruang kantor Miss Erena dan menuntut jawaban yang bisa memuaskanku.

Walau sebenarnya Miss Erena sangat enggan menjelaskannya tapi aku terus memaksanya. Dia pun memberitahuku walau tidak terlalu detil. Intinya, katanya. Eto itu pindahan dari sekolah lain yang merupakan cabang dari Pensionnat. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ada tempat lain seperti Pensionnat, atau cabang apalah yang sejenis itu.

Mungkin ini juga alasan mengapa Miss Erena enggan menjelaskannya padaku, sebab dikepalaku muncul pertanyaan lain setelah ku tahu bahwa ada tempat lain seperti Pensionnat. Setelah dia menjelaskan dengan sangat singkat, dia langsung menyuruhku keluar dari ruangannya dengan alasan banyak kerjaan dan tidak bisa diganggu.

Memang agak aneh sih!. Tapi setelah ku pikir-pikir ternyata memang tidak terlalu penting juga tentang dunia di luar sana karena kami tidak akan pernah diperbolehkan menyentuh dunia luar, bahkan untuk keluar dari lingkungan Pensionnat pun kami sangat dilarang. Ada banyak kisah menyeramkan yang kami dengar tentang anak-anak yang berusaha lari dari Pensionnat dan itu cukup membuat kami semua merinding tak bisa tidur membayangkannya.

Ketika aku sudah mulai akrab dengan Eto aku pun akhirnya menanyakan padanya tentang tempat yang pernah disebutkan Miss Erena padaku, tapi sayang sekali Eto sendiri tidak bisa mengingatnya, semuanya terasa kabur. Semakin diingat semua itu malah semakin tidak bisa diingat. Katanya!.

Tapi walau pun demikian Eto ingat dengan salah satu murid perempuan yang bernama Nonami; berambut panjang lurus sebahu, memiliki poni yang sangat sempurna seperti lekukan pelangi yang begitu indah. Tidak hanya itu wajah Nonami juga sangat enak dipandang.

Setelah kuselidiki lebih lanjut dari catatan kehadiran di kelas ternyata Nonami pertama kali masuk kelas sama dengan waktu Eto. Berarti bisa ditarik kesimpulan bahwa mereka berdua berasal dari tempat yang sama namun mereka tidak bisa mengingat tentang tempat itu.

Eto dan Nonami cukup dekat, tapi walau pun demikian Nonami tidak terlalu dekat denganku. Aku agak ragu ketika mengatakan ini. Tepatnya kami tidak dekat sedikit pun. Bahkan ketika kami bertiga duduk di bangku halaman yang ada di bawah salah satu pohon akasia, aku dan dia tidak pernah saling ngobrol.

Mungkin saja itu karena pengaruh teman perempuannya yang lain yang suka mengolok-ngolok ku. Atau dia takut berteman denganku, takut malah dibenci oleh teman-teman yang lain. Tapi apa pentingnya juga hal seperti itu kupikirkan, oleh karena itulah aku tidak pernah juga bertanya pada Eto alasan Nonami memperlakukanku seperti itu. Toh aku sudah terbiasa menjadi domba yang berbulu biru di tengah domba-domba berbulu putih dan normal.

Misalnya saja pada kesempatan yang lain ketika kami makan siang. Aku duduk sendirian di pojok meja panjang dekat lemari, aku tahu Nonami memperhatikanku tapi setiap kali aku melihat kearahnya dia selalu memalingkan wajahnya. Dan ketika Eto datang dan bergabung bersamaku, dia malah datang mengahampiri kami sambil memegang baki makanannya dengan kedua tangan dan memperlihatkan senyum manisnya pada Eto. Hanya pada Eto tidak padaku.

Pernah aku berasumsi dia suka pada Eto. Aku sempat gelisah dengan pemikiran itu. Bagaimana jika nanti mereka berpacaran pastilah Eto akan banyak menghabiskan waktu bersama Nonami. Itu artinya aku akan sendirian lagi dan akan menjadi objek olok-olok yang empuk bagi semua anak di Pensionnat. Tapi setelah kuperhatikan ternyata Eto tidak terlalu tertarik pada Nonami. Atau mungkin itu hanya penilaianku saja, namun aku cukup lega dengan hal itu.

Pernah aku menghayal menjadi Eto, maksudku menjadi sepertinya. Pintar, baik, menyenangkan dan menurutku dia itu anak yang sempurna. Meski pun dia berteman denganku, anak-anak lain tidak pernah menjauhinya, malah sebagian dari mereka terutama murid perempuan sangat suka menggodanya.

Dia sangat ahli dalam segala bidang, bahkan nilai akademiknya di atas rata-rata. Dia selalu mendapat nilai sempurna di kelas drama dan melukis. 2 kelas yang sangat aku beci.

Aku benci kelas drama karen memaksa diriku menjadi orang lain, apalagi kelas melukis. Hm…aku sangat membenci kelas itu. Aku tidak pandai melukis dan setiap kali aku melukis, lukisanku selalu dihina oleh anak lain yang melihat hasil karyaku itu, mereka bilang aku suka melukis hantu, sesuatu yang tidak pernah ada dan aneh.

Aku juga tidak mengerti mengapa aku melukis seperti itu. Tapi setiap kali melukis memang hal seperti itulah yang selalu terpikir di kepalaku. Bisa dibilang aku ini tidak berbakat dalam melukis.

Namun aku sangat terkejud ketika Eto tanpa sengaja menemukan buku gambarku yang kusembunyikan di bawah tempat tidur. Rasanya ingin berlari sambil menutup telingaku saja karena malu dan takut Eto berkomentar negatif terhadap lukisanku itu.

“Lukisanmu luar biasa!.” Ucapannya membuat aku tak bisa menutup mulutku dalam beberapa menit.

Entah karena dia tidak ingin menyinggung perasaanku dengan mengatakan bahwa lukisanku itu sangat jelek. Walau binar di matanya menunjukkan bahwa dia tercengang dan kagum dengan hasil karyaku itu. Tapi aku masih saja meragukannya. Dia ahli dalam beracting, buktinya saja kelas drama selalu mendapat nilai yang sempurna.

Dan hari itu setelah kami semua menghabiskan sebotol susu yang wajib kami minum sebelum tidur, aku terus terjaga di atas tempat tidurku, mengintip di balik selimutku dan memandang kearah Eto yang sudah tertidur di atas tempat tidurnya di seberang tempat tidurku. Aku masih memikirkan tentang lukisanku itu!.

Setiap 1 kamar terdapat 10 tempat tidur, namun tidak semua kamar terisi penuh, seperti kamar yang kami tempati ini hanya terisi 7 orang saja. Setiap kamar dibedakan atas kelas masing-masing.

Di kelasku ada 17 anak laki-laki termasuk aku dan Eto, dan 15 anak perempuan. Sebenarnya aku juga tidak yakin dengan jumlah itu sebab di kelas kadang keadaan jadi sangat kacau, jika kau berada di luar kelas dan mendengar kekacauan yang ada kau pasti mengiri di kelas itu ada 100 orang anak atau bahkan lebih yang sedang menggila.

Tapi mengapa aku bisa tahu jumlah anak laki-laki dan perempuan di kelasku?. Jawabnya adalah dari hitung-hitungan yang aku pikirkan. Tadi aku bilang setiap kamar memiliki 10 tempat tidur. Kamar laki-laki untuk kelasku ada 2 kamar, 1 kamar terisi penuh yang artinya terdapat 10 anak disana. Dan kamar ke-2 adalah kamar kami yang hanya terisi 7 orang anak saja. Jadi jumlah anak laki-laki di kelas berjumlah 17 orang.

Sedangkan untuk anak perempuannya, aku menebak berdaskan analisaku. Aku pernah bilang kan sebelumnya bahwa aku pernah menyelidiki tentang tanggal kehadiran Nonami di kelas. Nonami berada di daftar paling bawah dari nama anak lainnya, yaitu di nomor 32 maka bisa disimpulkan 32 dikurang 17 anak laki-laki, sisanya adalah anak perempuan, yaitu 15 orang.

Kadang aku sedikit bingung dengan apa yang kulakukan. Bahkan tidak pernah ada anak lain yang mau menghitung jumlah teman 1 kelas mereka. Padahal yang menganggap aku teman kan cuma Eto seorang. Biar hal ini tidak penting aku tetap saja melakukan analisa untuk hal itu. Eto menyebutku sebagai mesin pemerhati sekitar.

Gelar itu sepertinya memang cocok untukku yang lebih suka menyendiri dan memperhatikan sekitar. Aku bingung antara bangga dengan hal itu atau malu dengan kenyataan yang ada.

Aku suka menganalisa sesuatu, membuat banyak catatan kecil untuk sebuah kejadian yang ada di sekitarku. Mungkin itu juga alasan mengapa aku sangat menyukai pelajaran Enigma[2]. Aku suka berurusan dengan kode, sandi dan hal sejenis itu. Walau pada waktu aku kelas 1 aku sangat menyukai matematika.

Di kelas 2 terutama ketika memasuki tingkat 2, pelajaran matematika mulai menjadi prioritas ke-2 setelah pelajaran Enigma. Aku baru mengenal pelajaran Enigma dan langsung jatuh hati di hari pertama pelajaran itu dimulai. Aku suka dengan Prof. Turing yang punya gaya bicara berat dan serius, aku suka gayanya yang sedikit bungkuk ketika berdiri, aku suka rambut rapinya yang sudah berwarna perak. Intinya aku sangat menyukai semua aspek yang berhubungan dengan pelajaran Enigma.

Di hari pertama pelajaran Enigma, Prof. Turing menjelaskan tentang mengapa mata pelajaran itu bernama Enigma.

Enigma berasal dari nama sebuah mesin yang diciptakan oleh 2 orang perwira angkatan laut Belanda di tahun 1915 yang kemudian dikembangkan oleh intelijen militer Jerman pada Perang Dunia II. Mesin itu berfungsi untuk membuat pesan rahasia agar tidak bisa diterjemahkan oleh musuh. Sungguh sebuah mesin yang cerdas yang bisa diganti kombinasi kuncinya sebanyak 158 juta lebih. Oleh sebab itu pihak musuh tidak punya banyak waktu untuk bisa memecahkan satu pesan rahasia.

Nilai ku dan Eto di mata pelajaran Enigma selalu bersaing ketat. Seperti yang aku bilang sebelumnya, Eto itu benar-benar hebat dalam semua bidang. Luar biasa tanpa celah.

Dan sekarang sudah memasuki akhir tahun di kelas 2, tinggal beberapa minggu lagi kami akan naik ke kelas 3 tingkat 1. Seperti yang dikatakan oleh Miss. Amelia yang merupakan kepala asrama kami, di kelas 3 tingkat 1 anak-anak akan mulai memasuki kelas jurusan. Jurusan disini terbagi atas 2 jurusan.

Pertama jurusan bahasa dan yang kedua jurusan Enigma. Aku sangat bersyukur Enigma menjadi sebuah jurusan tersendiri karena sudah pasti mata pelajaran Enigma akan dibagi menjadi beberapa bagian dan itu berarti kelas akan banyak dihabiskan dengan pelajaran Enigma saja.

Sama halnya seperti jurusan Bahasa, berarti pelajaran bahasanya akan lebih banyak dan lebih dalam. Namun di antara dua jurusan itu hebatnya mata pelajaran drama dan melukis selalu ada entah apa tujuannya. Mungkin agar aku tidak pernah bisa menyaingi Eto. Pikirku tidak masuk akal.

Denyit suara daun pintu dibuka dari dalam membuyarkan lamunanku. Aku berpaling kebelakang untuk melihat siapa yang sudah membukakanku pintu.

Miss. Amelia berdiri dengan sangat anggun, dia menghampiriku kemudian memasangkan mantel coklatnya yang hangat ke tubuhku. Mantel itu memang kebesaran tapi sangat membuatku nyaman.

“Ayo kita masuk,” suara Miss.Amelia benar-benar menentramkan.

Tanpa menjawab atau mengucapkan sepatah kata pun, aku mengikuti perintahnya itu.

Saat dia menutup kembali pintu, aku menjenguk dari balik tubuhnya kearah luar. Hujan masih turun namun mobil hitam yang kutunggu belum juga kunjung datang.

“Cepatlah kau mandi, sebentar lagi akan makan malam.” Tegurnya yang melihat aku masih berdiri di belakangnya

Aku mengangguk, tapi belum juga beranjak dari tempatku berdiri.

“Ada apa?.” Tanyanya heran.

“Apa Miss Amelia tau kapan Eto akan kembali?.” Akhirnya kutanyakan juga.

Raut wajah Miss. Amelia berubah menjadi murung. “Dia pasti akan kembali, kau tak perlu memikirkannya.” Ucapnya yang kemudian mengulangi kata-katanya menyuruhku untuk segera mandi.

Dengan ekspresi wajah yang kurang puas atas jawaban Miss. Amelia, aku pergi menyusuri lorong menuju kamar untuk mengambil handuk.

Saat aku sudah dekat dengan pintu kamar, salah satu dari anak di kamar itu mengintip dari celah pintu yang renggang. Dia menatapku sejenak kemudian menghilang begitu saja. Mereka pasti akan mentertawakanku. Pikirku kesal namun pasrah.

Tak ada jalan lain selain masuk ke kamar, mengambil handuk dan pergi. Memang secara logika hal itu sangat mudah tapi jika harus mendengar olokan dan tawa mereka yang menyiksa itu semuanya akan terasa sangat berat.

Dengan langkah enggan aku menuju pintu. Saat kubuka pintu dan tubuhku sudah separuh masuk ke kamar, seember air tumpah dari atas. Ternyata itu jebakan. Mantel Miss Amelia jadi basah dan bau, karena ember tadi berisi air yang berasal dari toilet.

Semua anak tertawa serempak. Aku hanya berdiri diam tanpa bisa berbuat apa pun. Ingin rasanya aku menangis atau berteriak disana, tapi semakin aku tersiksa, semakin mereka puas dan mentertawakanku. Aku harus bertahan. Pikirku menguatkan diri.

Andai saja Eto ada disini!. Harapku sambil melanjutkan langkahku diantara tawa yang menyiksaku.[]

________________

Enigma[2]: salah satu mata pelajaran yang ada di kelas 2 tingkat 2. mata pelajaran ini mempelajari tentang kode rahasia.

________________

Baca cerita selanjutnya   atau cerita sebelumnya

 

Hemel #Prolog

atom01

HEMEL DISERET oleh dua bocah laki-laki seumuran dengannya, lalu bocah ketiga mengawasi lorong dan memberikan kode pada kedua temannya untuk maju menyeret Hemel. Mereka membawa Hemel ke gudang sekolah yang berada di ujung selatan Pensionnat[1].. Hamel meronta mencoba melepaskan diri, namun cengkraman dua bocah tadi jauh lebih kuat. Dia tidak bisa berteriak meminta tolong karena mulutnya ditutup lakban.

Setelah sampai di gudang, Hemel dimasukkan ke dalam lemari kosong yang berada di samping patung tengkorak untuk pelajaran biologi. Dia menangis ketakutan, namun tak berdaya untuk melawan, tubuhnya yang kurus didorong dengan kasar ke dalam lemari lalu dikunci dari luar dengan gembok besi.

Di dalam lemari itu gelap, Hemel memukul-mukul daun lemari panik, gembok yang menahan pintu terlalu kuat untuknya. Suara tawa terdengar di luar lemari dilanjutkan dengan suara langkah kaki berlarian menjauhi lemari.

Hemel terduduk di dalam lemari, membuka lakban yang menutupi mulutnya. Dia terus menangis ketakutan.

Hingga sore hari dan sebentar lagi gelap akan datang. Ruang gudang akan jadi sangat gelap karena tidak ada lampu di sana. Hemel harus segera keluar jika tidak ingin dia mati ketakutan.

Kedua tangan dan kakinya sangat letih menggedor pintu lemari, suaranya sudah sangat serak karena berteriak minta tolong sejak tadi. Tapi tak satu orang pun yang datang menolongnya. Jelas saja karena gudang itu berada sangat jauh dari gedung yang digunakan untuk menjadi ruang kelas dan asrama.

Perut Hemel keroncongan, karena dia sudah melewatkan jam makana siang, napasnya mulai terasa pendek dan sesak, mungkin sebentar lagi dia akan mati.

Lalu suara langkah terdengar di luar lemari. Hamel mengehentikan suara tangisnya, dia mendengarkan dengan seksama suara langkah yang perlahan namun semakin dekat kearahnya.

Hemel bergidik ketakutan, dia teringat tentang kisah hantu di gudang itu. Semua penghuni asrama tahu seseram apa kisah yang pernah mereka dengar tentang gudang itu. Entah dari siapa rumor itu berasal namun hamper semua anak di asrama percaya dengan kisah itu.

Dulu sebelum gedung-gedung disana menjadi sekolah dan asrama, tempat itu adalah penjara untuk para narapidana. Walau sebenarnya tidak pernah ditemukan satu pun penjara disana. Dan gudang itu dulunya adalah ruang penyiksaan bagi para narapidana yang ingin melarikan diri. Karena ada banyak narapidana yang disiksa sampai mati disana, makanya tempat itu jadi sangat berhantu.

Suara langkah kaki tadi berhenti di depan lemari, dan tak lama kemudian pintu lemari tadi diketuk dari luar sebanyak tiga kali. Hemel benar-benar ketakutan sampai-sampai dia terkencing-kencing. Air kencingnya sangat banyak hingga merembas keluar lemari.

Suara ketukan mengulang lagi, kali ini dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan.

“Siapa di dalam?.”

Karena tak bisa lagi menahan ketakutan, Hemel kembali menangis.

Pintu lemari malah digedor sangat keras dari luar, berkali-kali hingga suara benda jatuh berdenting di lantai gudang. Pintu lemari terbuka, Hemel meringkuk dengan kaki ditekuk dan wajah disembunyikannya di balik tangan.

“Kamu ngapaian disini?.”

Pertanyaan itu membuat Hemel mengangkat wajahnya yang basah karena air mata, dia menatap kearah wajah yang ada di hadapannya. Ketakutannya surut begitu saja, napasnya mulai terasa lega, seseorang telah menemukannya.

“Siapa yang ngunciin kamu disini?.”

Hemel tidak bisa menjawab pertanyaan tadi, bahkan untuk berdiri pun dia tidak berdaya.

“Aku Eto, aku akan bawa kamu ke klinik!.”

Eto membantu Hemel bangkit, kemudian menggedongnya dengan susah payah. Air kecing Hemel membasahi tangan dan baju Eto, aromanya sangat tidak enak dipenciuman. Namun Eto tidak mengeluhkan hal itu, dia terus berjalan dengan terus berusaha mengajak Hemel bicara agar Hemel terus terjaga.

Namun Hemel sudah tak tahan lagi, dia pingsan dan tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, ketika terbangun dia hanya berada di atas tempat tidur di ruang klinik yang pucat.[]

__________________

[1] Pensionnat : nama sekolah sekaligus asrama.

Hujan Jangkrik Sialan!

NAMAKU ERIANA, umurku enambelas tahun aku sudah raib dari muka bumi ini, tak ada yang tahu kemana aku raib, apa yang terjadi padaku juga tidak ada yang tahu, intinya aku raib, tidak lebih tidak juga kurang dari itu. Dulu sebelum aku raib, aku merupakan gadis remaja seperti kalian semua, bersekolah, melakukan hal-hal gila dan menjalin hubungan dengan seorang lelaki, walau tidak semua lelaki yang berhubungan denganku aku suka!. Tapi dari sekian banyak lelaki yang berhubungan denganku ada satu lelaki yang sangat aku cintai, dia adalah guru matematikaku. Aku memanggilnya Pak Guru, dia sangat tampan, sangat dewasa, sangat menggairahkan tapi sayang sekali dia sudah memiliki Istri dan seorang Anak lelaki yang baru berusia tiga tahun. Tapi kami saling mencintai, itu yang aku rasakan. Maka kami pun menjalin hubungan diam-diam yang pada akhirnya akan jadi sangat menyakitkan.

Aku merupakan anak tunggal di keluarga kecilku, tepatnya aku anak Ibuku dari pernikahan pertamanya, sedangkan Ayah kandungku tak tahu ada dimana, mungkin dia juga raib sepertiku saat ini. Ibuku menikah dengan kekasih di masa lalunya, mereka berjumpa lagi disebuah kesempatan yang tidak terduga, berkencan lalu tak lama kemudian mereka menikah. Waktu itu umurku baru tujuh tahun dan orang-orang melihat kami seperti sebuah keluarga yang penuh bahagia. Pandangan itu berubah ketika aku raib, semuanya menjadi sangat kacau, benar-benar kacau.

Sewaktu sekolah setiap hari jumat aku dan Pak Guru akan berjumpa di suatu tempat yang kami sebuah sebagai tempat rahasia. Di tempat rahasia kami akan saling memeluk, saling merasakan, bercumbu hingga akhirnya Pak Guru masuk ke dalamku. Kami tidak banyak bicara, karena kami lebih banyak mendesah dan merintih penuh nikmat, tapi terkadang aku bertanya padanya apakah dia mencintaiku, namun dia selalu marah ketika aku menanyakan hal itu, dan karena dia marah maka dia akan sedikit kasar ketika bercinta. Aku tidak keberatan dengan caranya bercinta denganku, karena aku sangat mencintainya, tak salahnya jika kita rela merasakan sakit demi seseorang yang kita cintai.

Ketika aku pulang dari tempat rahasia, ibuku selalu bertanya kenapa aku pulang terlambat, dan biasanya aku berbohong padanya bahwa aku pergi ke perpustakaan atau terkadang aku juga bilang bahwa aku mengerjakan tugas di rumah temanku. Ibuku percaya dan selalu percaya apa yang aku katakan.

Tapi tidak dengan Ayah Tiriku, dia selalu menaruh curiga padaku, pernah pada suatu ketika dia kehilangan uang dan menuduhku mencurinya untuk membeli rokok, jelas saja aku tidak mengaku karena aku memang tidak melakukannya, maka dia menyeretku ke gudang, mengunci pintu gudang lalu memukuliku di dalam sana. Jika Ibu ada di rumah, Ibuku akan menyelamatkanku tapi jika Ibu sedang bekerja maka Ayah Tiriku melakukan banyak hal yang mengerikan kepadaku. Tapi sekarang aku sudah raib dan aku sedikit senang dengan prihal ini sebab dia tidak akan bisa lagi menyakitiku, namun dilain sisi aku juga sedikit sedih karena harus berpisah dari Ibuku dan Pak Guru yang aku cintai.

Hari itu adalah hari jumat, sepulang dari tempat rahasia, aku berjalan meyusuri jalan yang mulai sunyi berhias langit sore yang cerah, meski pun cuaca sangat cerah tapi udara begitu sejuk, seolah musim gugur akan segera tiba. Dan disebuah tikungan, tempat para pengendara sering mengalami kecelakaan aku terhenti, aku terhenti di bawah pohon akasia yang rindang lalu duduk di sana memandangi kehampaan. Tiba-tiba saja aku merasa diriku tak berdaya, tersandar di pohon akasia, aku melihat sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, oleh sebab itu aku sulit untuk menjelaskan apa yang aku lihat. Lalu aku menangis begitu saja, menekuk kedua kakiku dan merangkulnya dengan kedua lenganku. Jalan masih sunyi dan memang sangatlah sunyi, bahkan tak satu pun kendaraan yang melintas. Aku benar-benar sendirian, kesepian dan mungkin tak lama lagi akan menghilang.

~

Ibu dan Ayah Tiri duduk berseberangan mereka menghadapi hidangan makan malam. Mereka tidak saling bicara, mereka hanya menunggu sesuatu yang mereka tunggu. Detak jam berhitung cukup nyaring, suaranya menguasai ruang dapur yang senyap, langit sudah mulai gelap, matahari segera terlelap, tapi yang ditunggu belum juga timbul mencuat.

“Kemana dia pergi selarut ini?,” ucap Ayah Tiri dengan kesal.

Ibu bangkit dari kursi kayu. “Aku akan menghubungi teman-temannya.” Dia menuju telpon yang duduk disamping lampu, mengangkat gagang telpon berwarna merah hati kemudian memutar kombinasi nomor telpon yang terdaftar di buku telpon.

Tak satu pun dari orang-orang yang ditelpon mengetahui keberadaan Eriana, malah kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa Eriana pulang lebih awal karena tidak enak badan. Ibu pun mulai merasa cemas, dan dengan langkah yang setengah berlari menghampiri Ayah Tiri, memberitahukan apa yang ada dipikirannya. Bahwa anak mereka menghilang!.

“Apakah kita harus menghubungi Polisi?,” tanya Ibu gugup.

Tapi Ayah Tiri menggelengkan kepala. “Jika belum lewat dari duapuluh empat jam Polisi tidak akan mau mencarinya.” Jelasnya.

Duapuluh empat jam bukanlah waktu yang mampu ditunggu oleh Ibu atas anaknya yang tidak diketahui kabar pastinya. Di dalam pikirannya hanyalah mencari. “Kita harus mencarinya!.” Nada bicara Ibu terdengar memaksa.

“Kau tunggu di rumah siapa tahu dia pulang. Aku akan mencarinya di jalan.” Akhirnya Ayah Tiri menyerah karena terus didesak.

Ayah Tiri menyalakan mobilnya dan dengan enggan menginjak pedal gas mobilnya, dia menyalakan sebatang rokok untuk menenangkan pikirannya namun hal itu tidak akan pernah cukup untuknya. Sedangkan sang Ibu masuk ke kamar Eriana. Seperti kamar remaja pada umumnya, banyak poster-poster menempel di dinding, seolah hal itu melukiskan jati diri mereka yang masih belum pasti. Tak ada yang aneh di kamar itu, semuanya terlihat biasa saja, buku-buku yang ada di atas meja belajar pun hanyalah novel-novel cinta khas remaja yang baru merasakan jatuh cinta. Ibu membuka lemari pakaian Eriana, memegangnya penuh perasaan. Dimana kau berada Nak!.  Ucapnya dalam hati seolah berharap terdengar jawaban begitu saja.

Ibu berbaring di atas tempat tidur Eriana, mencium bantal sangat dalam memegang selimut yang terlipat rapi, dia mencoba merasakan keberadaan Eriana, namun semua itu sia-sia belaka karena memang tidak ada gunanya. Saat Ibu memiringkan tubuhnya, dia baru sadar bahwa dia belum memeriksa laci meja belajar anaknya itu. Dia bangkit dan mencoba membuka laci tadi, tapi laci tadi terkunci sangat rapat sehingga dia pun mengulurkan niatnya begitu saja. Lagi pula suara mobil berhenti di halaman rumahnya lebih menarik minatnya.

Langkah setengah berlari menuju pintu utama tak terbendungkan, hingga daun pintu dibuka dan mendapati Ayah Tiri berdiri disamping pintu mobil yang baru ditutup, Ayah Tiri sendirian tanpa Eriana. Wajah Ayah Tiri terlihat letih dengan sedikit kekesalan di air mukanya, dia menggelengkan kepalanya pelan sambil berucap lirih penuh sesal. “Aku tidak menemukannya.”

Ibu berlari menghampiri Ayah Tiri, memeluknya dengan derai air mata. “kita harus meminta bantuan Polisi,” ucapnya berkali-kali.

“Kita tunggu sampai besok pagi, apabila dia tidak muncul kita akan lapor Polisi.” Ucap Ayah Tiri sambil menuntun Ibu masuk ke dalam rumah.

Malam itu Ibu benar-benar cemas, berkali-kali dia menjenguk ke jendela dan berharap Eriana muncul dengan senyum manis yang selalu diingatnya. Sedangkan Ayah Tiri duduk di depan televisi, merokok, memandangi televisi yang dibisukan. Hingga tengah malam datang begitu saja, Ibu tertidur di kamar Eriana sedangkan Ayah Tiri tertidur di shopa dengan televisi menyala tanpa siaran. Lalu suara hujan menyentuh genteng terdengar aneh daripada hujan pada umumnya.

Pagi yang busuk akhirnya tiba, Ayah Tiri bangun lebih dulu daripada Ibu, dan dia mendapati ratusan atau bahkan jutaan bangkai jangkrik kaku hampir membusuk. Bahkan aroma busuk kawanan jangkrik mati itu pun sudah mulai tercium. Ibu setengah berlari keluar ketika melihat Ayah Tiri berdiri kaku di depan pintu utama dan saat Ibu melihat bangkai-bangkai jangkrik tadi dia juga tercengang tak percaya.

“Sepertinya hujan tadi malam adalah hujan jangkrik.” Ucap Ayah Tiri dengan nada tak percaya pada ucapannya sendiri.

Kota dipenuhi oleh bangkai jangkrik, semua orang sibuk membersihkan jangkrik, bahkan para Polisi pun dibuat sibuk sehingga saat Ibu dan Ayah Tiri melaporkan hilangnya Eriana hanya ada beberapa Polisi di kantor Polisi. Polisi berjanji akan melakukan pencarian dan setelah itu Ibu dan Ayah Tiri berkeliling kota mencari Eriana, tapi pencarian mereka benar-benar nihil hingga akhirnya mereka kembali pulang ke rumah saat tengah hari sudah berlalu.

Ibu masuk ke rumah sedangkan Ayah Tiri membersihkan halam rumah mereka yang penuh dengan bangkai jangkrik. Ibu mengambil pisau dapur lalu berusaha membuka laci meja belajar Eriana, laci itu cukup kokoh sehingga tangan Ibu terluka terkena mata pisau. Ibu membalut lukanya kemudian kembali berusaha membuka laci tadi, dengan paksa akhirnya laci terbuka, hanya ada satu benda di dalam laci itu, sebuah buku berwarna biru laut dengan gambar pemandangan lautan di cover depannya. Sebuah buku harian Eriana.

Lembar demi lembar dibuka, dan kebanyakan dari isi buku itu hanyalah foto-foto Eriana dan teman-temannya lalu sedikit puisi dan beberapa curhatan pendek khas remaja pada umumnya, semuanya masih normal dan biasa saja, hingga akhirnya pada bagian tengah buku semuanya berubah menjadi liar, foto-foto seorang lelaki bermunculan bagaikan badai di tengah lautan, karena Ibu sangat mengenal baik lelaki itu, lelaki itu adalah Pak Guru, Guru matematikanya Eriana. Di bawah foto-foto itu terdapat kisah percintaan penuh hasrat dan nafsu serta kisah tentang tempat rahasia yang selalu dikunjungi oleh Eriana dan Pak Guru setelah sekolah berakhir pada hari jumat. Ibu menutup buku tadi dengan cepat, memeluknya dengan perasaan tak percaya, dia terlihat gugup sekaligus gelisah, dengan buku tadi yang masih berada di pelukannya Ibu menuju jendela dan mengintip Ayah Tiru yang sibuk membersihkan halaman. Ibu mengambil tas dan memasukkan buku tadi ke dalam tas, kemudian berjalan menghampiri Ayah Tiri.

“Aku ingin ke pasar dulu membeli sayur untuk makan malam kita, sekaligus mencari Eriana.” Ucapnya dengan bibir bergetar gugup.

Ayah Tiri tidak curiga, dia menyerahkan kunci mobil dan membiarkan Ibu pergi begitu saja. Dengan mata berkaca-kaca Ibu mengendarai mobil, suara radio mobil memberitakan tentang hujan jangkrik yang turun tadi malam, dan jelas sekali sepanjang jalan orang-orang sibuk membersihkan bangkai jangkrik yang begitu banyak.

Ibu mendatangi rumah Pak Guru, saat mobilnya berhenti di depan rumah Pak Guru, Pak Guru dan Istrinya sedang sibuk membersihkan bangkai jangkrik seperti yang lainnya. Ibu dipersilahkan masuk oleh Pak Guru sedangkan Istrinya membuatkan minum untuk tamu mereka. Saat Ibu dan Pak Guru berduaan di ruang tamu, Ibu pun memperlihatkan buku harian Eriana dan bertanya dimana Eriana berada. Wajah Pak Guru terlihat pucat, tapi dia juga tidak tahu kemana Eriana pergi, hari itu Eriana memang bersamanya di tempat rahasia namun setelah itu mereka berpisah seperti jumat biasanya.

Karena begitu emosional Ibu pun berteriak-teriak meminta penjelasan sehingga Istri Pak Guru kembali ke ruang tamu, Ibu menuduh Pak Guru telah menyembunyikan Eriana dan membeberkan segala kelakuan bejat Pak Guru karena telah meniduri muritnya sendiri. Dengan derai air mata Ibu kembali ke mobilnya sedangkan Pak Guru dan Istrinya bertengkar hebat di ruang tamu. Suara saling sahut hingga terdengar keluar rumah demikian juga suara tangis anak mereka yang ketakutan melihat orang tuanya bertengkar begitu hebat.

Walau Ibu menuduh Pak Guru telah menyembunyikan Eriana tapi tetap saja firasatnya mengatakan lain, dia malah merasa Eriana pergi begitu saja karena tertekan oleh keadaan lingkungan. Ibu berputar keliling kota mcari-cari Eriana hingga siang diganti oleh malam yang pekat. Hingga malam pun orang-orang masih sibuk membersihkan bangkai jangkrik di jalanan, seolah tidak ada yang sadar bahwa ada seorang remaja telah menghilang.

Sesampai di rumah, Ayah Tiri duduk di ruang tamu menunggu Ibu, wajahnya begitu marah karena perutnya sudah sangat lapar. “Kemana saja kau tadi?,” ucapnya dengan kasar.

“Aku berusaha mencari anak kita.” Jawab Ibu dengan nada lelah. “Apakah Polisi ada menghubungi ke rumah?.” Tanyanya pula.

“Semua orang sibuk membersihkan bangkai jangkrik sialan itu. Bahkan Polisi juga.” Nada Bicara Ayah Tiri tak ubah dari marah. “Aku sudah sangat lelah seharian ini membersihkan halaman dan sekarang aku kelaparan gara-gara anakmu lari dari rumah.”

“Dia tidak lari, dia menghilang.” Akhirnya Ibu juga meledak. “Kau kira aku tidak lelah, aku berkeliling mencarinya sedangkan kau tak hirau. Biar bagaimana pun dia itu tetap saja anakmu juga.”

“Anak sialan,” ucap Ayah Tiri kesal. “Mungkin saja dia lari karena bosan hidup bersama kita. Hanya membuang waktu saja jika kita terus mencarinya, bahkan orang-orang pun tidak menghiraukan hilanya anakmu itu.”

“Ayah macam apa kau ini. Atau mungkin dia memang benar-benar lari karena kau, karena kau sudah memperlakukannya dengan kasar. Kau kira aku tak tahu apa yang kau lakukan padanya di gudang itu.”

“Beraninya kau menuduhku demikian. Memang anakmu saja yang kurang ajar, sama seperti Ibu dan Ayahnya.”

Ibu menangis tak bisa menahan air matanya. “Lantang sekali mulutmu menilainya seperti itu, padahal kau tidak mengenalnya dengan baik, bahkan kau tidak tahu apa yang terjadi padanya selama ini.” Ibu menjatuhkan tas yang dibawanya dan buku harian Eriana terjulur keluar begitu saja.

Ayah Tiri memungut buku harian Eriana, terlihat raut ketakutan dari wajah Ibu. Mata Ayah Tiri menegang ketika mencapai halaman tengah buku. “Sialan!.” Ucapnya pelan namun menusuk. “Apa kau tadi kerumahnya dan menemui Guru sialan ini.” Tunjuk Ayah Tiri dengan kesal kearah foto Pak Guru.

Ibu mengangguk sedih, tapi dia tidak berucap sepatah kata pun.

“Kenapa kau tidak memberitahuku. Kau mau menyembunyikan kelakukan anakmu itu!.” Kemarahan itu semakin menjadi. “Apa kau senang Anakmu tidur bersama lelaki seperti dia.” Buku harian Eriana dihempaskan kelantai.

“Kau marah dengan itu semua, apa kau tidak merasa sama saja seperti dia,  aku tahu kau selalu memaksa Eriana disaat aku tidak ada di rumah. Apak kau cemburu terhadap Pak Guru itu!. Dasar lelaki munafik.”

Tamparan keras membenam di wajah Ibu, membuat pipinya merah seketika. Ayah Tiri mengambil kunci mobil dengan paksa lalu pergi ke rumah Pak Guru dengan amarah yang mengebu-gebu. Pertengkaran hebat membuat beberapa kaca rumah Pak Guru pecah, wajah Pak Guru juga berlumuran darah karena dipukuli oleh Ayah Tiri. Dan karena tidak mendapatkan jawaban dimana Eriana berada, Ayah Tiri pun kembali pulang. Saat dia sampai di rumah suasana sangat sunyi, bahkan lampu-lampu dimatikan. Ayah Tiri memanggil-manggil Ibu namun tidak ada jawaban, ketika dia menyalakan lampu barulah dia sadar bahwa Ibu tergeletak di atas shopa depan televisi dengan urat nadi tersayat pisau penuh darah segar. Ayah Tiri mundur cemas, dia kembali ke dalam mobil menyalakan rokok dan melaju kembali ke jalan, tepat disebuah tikungan dia melihat sebuah bayangan, namun karena mobil terlalu kencang dia tidak sempat menghentikan mobil, dia pun menabrak bayangan tadi. Mobil berhenti, Ayah Tiri keluar dari mobil, dia memeriksa apa yang baru saja ditabraknya, tepat dibelakang mobil bayangan itu terkapar tak berdaya, membuat Ayah Tiri ketakutan sekaligus tak percaya, kedua matanya menegang dengan tubuh bergetar hebat.

~

Banyak yang berubah setelah aku raib, bahkan langit pun sudah tidak sama lagi seperti dulu, tak ada yang tahu kemana aku pergi atau diman aku berada, bahkan aku sendiri tidak tahu. Aku hanya raib, tidak lebih dari itu. Mungkin karena semua yang sadar atas raibnya aku sudah ikut raib bersamaku atau juga mungkin karena hujang jangkrik sialan jauh lebih menarik minat orang-orang daripada remaja sepertiku. Lalu apakah kau memperhatikan raibnya aku atau hanya tertarik pada hujang jangkrik sialan itu seperti orang-orang. Aku tak pernah tahu karena aku memang tidak pernah tahu itu semua.

Apakah kau benar-benar memperhatikan aku atau hujan jangkrik sialan itu?.[]

Kucing Hitam

kucing hitam

4 November 1908, Wina, Austria

Aku hanya duduk diantara cat minyak yang belepotan di karpet coklat, memandangi lukisan Tuanku yang terakhir. Lukisan itu judulnya Nude Sel-Portrait with Palette. Lukisan lelaki telanjang yang sedang merana. Aku melengak memperhatikan lukisan tadi lalu kearah tuanku yang membisu di depan cermin. Setetes, dua tetes dan beberapa tetes meresap ke dalam karpet, tetesan cairan merah segar yang berasal dari bekas tusukan pisa di dadanya.

Aku mengeong kearah tuanku,  memanggilnya agar menyadari keberadaanku. Tapi tuanku sudah tidak bergerak lagi, bahkan kedua kakinya sudah tidak menapak lantai. Seperti terbang namun tak bersayap. Aku mengeong lagi dan dia masih saja membisu. Dia benar-benar sudah mati. Pendapatku pada diri sendiri. Lalu aku menatap kearah cermin, melihat begitu hitamnya diriku ini, seperti pembawa kesuraman.

Ini adalah kematian yang kesekian kalinya, seperti sebuah pertanda bahwa ini adalah awal baru bagiku untuk menemukan orang lain yang mau menjadi tuanku. Dan itu perlu waktu puluhan tahun nyawaku bisa saja habis karena terus berkurang. Hidup tak bertuan itu bagaikan berada di ujung jurang tanpa ada akar pohon yang bisa aku pegangi, aku memerlukan pegangan oleh sebab itu aku terus mencari.

11 januari 1968, Budapest

Ini sudah puluhan tahun setelah  kejadian di Wina. Hari ini hari minggu, sebuah hari yang lebih baik digunakan untuk berlibur dan bersenang-senang melepas penat, namun pada hari ini aku hanya duduk di depan jendela di salah satu apartemen, memandang kesekitar pada kesibukan sekitar yang tidak pernah surut. Sebelumnya aku duduk di atas sofa memperhatikan tuanku yang terlihat gelisah, aku mengerti kegelisahannya itu, itu pasti karena puisi yang ditulis oleh Laszlo Javor. Puisi yang dibuat menjadi lagu sendu nan suram, lagu yang menjadi pertanda kematian kekasih yang dicintainya.

Aku maju sedikit di depan jendela, mendongok ke bawah. Dari ketinggian bisa kulihat tuanku tengkurap di jalan dengan kepala berdarah, aku mengeong berkali-kali memanggilnya namun dia sama seperti tuanku yang dulu, membisu dan tidak menjawab.

Aku meloncat ke atas piano, lalu berjalan di antara tuls-tuls piano, nada acak muncul seperti ucapan selamat tinggal dariku. Kesedihan lagi-lagi membenam dalam dadaku, seperti luka yang tidak pernah kering, terus membaru.

Dan untuk yang kesekian kalinya aku harus mencari tuan baruku.

Masa Kini, Kakunodate, Tokyo

Aku berhitung di pinggir jalan yang sunyi malam itu, hanya suara air sungai hinokinai yang terdengar di telingaku. Sudah sangat lama aku hidup dan sudah banyak juga aku melihat kematian. Aku menghitung nyawaku, mengingat-ngingat kapan saja nyawaku berkurang. Setiap kucing sepertiku memiliki tujuh nyawa, namun tidak semua yang sepertiku memiliki umur yang panjang. Memiliki tujuh nyawa tidak membuat hidup jadi abadi, bahkan terkadang karena merasa memiliki tujuh nyawa, akhirnya nyawa itu jadi di sia-siakan begitu saja, sampai suatu ketika bagi yang tidak menghitungnya dengan benar akan dikejutkan oleh Maut

Maut merupakan sosok yang selalu dekat dengan kehidupan, agar tidak cepat di jemput Maut maka aku  berteman dengan Maut. Aku mengenal Maut pada tahun 1975 di sebuah kapal pengangkut bijih besi bernama Edmund Fitzgerald, aku adalah salah satu penumpang gelap di kapal itu, walau pun sebenarnya tidak ada yang memperdulikan keberadaanku disana. Pada tanggal 10 november 1975 di Great Lakes, ke-29 awak kapal  dan juga aku terjebak dalam situasi mengerikan.

Edmund Fitzgerald terombang ambing tak tentu arah, para awak kapal berusaha untuk mengendalikan kapal tapi gelombang terlalu kuat. Aku berlari ke puncak kapal di bagian haluan, bertahan pada tiang bendera dan antena yang bergoyang diterpa angin. Aku tahu bisa saja petir menyambarku di sana, namun aku lebih memilih tersambar petir daripada tenggelam di telan badai.

Saat itulah aku melihat Maut, dia datang dari langit yang tertutup awan gelap, dia hitam seperti diriku, bahkan lebih hitam mungkin, tapi aku bisa melihatnya, apalagi ketika kilatan petir menyambar beberapa kali. Orang-orang berteriak saat Maut menjemput mereka satu per satu, menarik mereka dengan sebuah kecupan singkat yang dingin. Dan terakhir setelah ke-29 awak tadi sudah dijemput oleh Maut, aku tersisa sendirian.

Kapal tak lama lagi akan tenggelam, aku sangat ketakutan, seluruh tubuhku mengigil, rasa ngeri dan dingin bercampur menusuk tulang tubuhku, apalagi ketika Maut mendekatiku dan menatapku dengan sangat tajam.

“Apa aku akan mati disini?,” tanyaku pada Maut dengan berteriak.

Maut berdiri di depan wajahku sangat dekat, mungkin kira-kira dalam jarak sejengkal orang dewasa. Aku bisa merasakan kedinginan dari mulutnya, serta suara yang keluar seperti bisikan lewat batinku. “Kau tidak akan mati disini,” ucapnya.

Gelombang setinggi 30 kaki menghempas kapal dengan keras, menghantamku hingga terlempar ke dalam air, aku timbul tenggelam, napasku menyesak karena tersedak air, aku mencari pegangan agar bisa mempertahankan diriku, hingga akhirnya aku menemukan kasur yang mengapung bagaikan pramadani. Aku naik ke atas kasur tadi dan menatap Edmund Fitzgerald tenggelam. Ketika aku berpaling ke samping Maut sudah berada di sampingku, entah sejak kapan dia disana.

“Apa kau takut Kuro?,” tanya Maut padaku.

Dengan bibir bergetar aku menjawab.”Aku sangat takut.”

“Aku juga,” ucap Maut membuat aku tak percaya.

Mana mungkin Maut takut hanya dengan hal seperti itu karena dia sendiri jauh lebih mengerikan dari badai sekali pun.

Maut bisa membaca pikiranku dan dia pun berkata lagi. “Kau boleh tak percaya. Bahkan aku takut ketika harus menjemput orang-orang dari dunia ini.”

“Mengapa kau takut?,” tanyaku penasaran.

“Karena mereka tidak punya pilihan dan sebuah kesempatan lagi seperti dirimu untuk memperbaiki segala hidup mereka. Namun  meski pun demikian aku sangat membenci orang-orang yang menentang takdir dan memilih merenggut nyawa mereka sendiri.”

“Aku sering melihat orang-orang yang menentang takdir, hampir semua tuanku melakukan itu, tapi saat mereka melakukannya aku tidak pernah melihat kau datang?.”

Maut seperti tertawa, tapi aku tak yakin bahwa dia bisa tertawa. “Untuk apa aku hadir, jika tugasku mereka lakukan sendiri. Orang-orang itu tidak mengerti bahwa menentang takdir akan jauh lebih menyakitkan daripada ketika aku menjemput mereka, aku lebih lembut menarik ruh mereka walau kadang mereka tetap berteriak mengeluhkan rasa sakitnya, namun setelah itu mereka akan merasa lega yang luar biasa. Berbeda dengan orang yang menentang takdir, mereka memang tidak berteriak penuh rintih, tapi setelah itu mereka akan merasakan sakit yang berkepanjangan, mungkin sakit itu hingga dunia berakhir.”

Aku benar-benar ngeri membayangkannya, rasa sakit yang tidak bisa dihindari hingga dunia berakhir. Dan celakanya dunia masih jauh dari berakhir. Edmund Fitzgerald sudah tidak terlihat lagi, walau air masih menari mengombang-ambing. Perlahan semuanya menjadi tenang hingga badai akhirnya berlalu.

“Maut maukah kau menjadi Tuanku?.” Tanyaku dengan suara pelan, aku takut dia marah.

Tapi Maut sudah menghilang dia sudah tidak ada lagi di sebelahku. Aku ditinggalnya sendiri.

Tapi jika kupikir maut tidak akan mau menjadi tuanku, lagi pula aku akan sangat menyusahkannya dalam melakukan tugasnya. Aku menengadah ke langit mencari Maut yang kurasa sudah kembali ke langit, tapi langit tak bisa di tembus oleh mata, walau kadang terlihat indah apalagi ketika senja penuh rona, langit itu seperti kotak besar yang tidak terhingga besarnya, tempat menyimpan banyak misteri dan juga rahasia.

Aku seperti tersedak ketika menyadari bahwa nyawaku hanya tersisa dua saja, aku duduk di samping trotoar, menatap gedung pencakar langit yang gemerlap di malam hari. Tak biasanya jalan di Kakunodate sesunyi ini, bahkan manusia pun jarang terlihat melintas. Ini semua seperti sebuah pertanda yang aneh.

Karena jalan benar-benar sunyi, aku pun menyebrang tanpa memastikan apa ada mobil yang akan melintas. Lalu dari kejauhan cahaya lampu sorot mobil menangkapku bagaikan seorang aktor di atas sebuah teater pertunjukan, disinari dan terdiam karena tercengang. Tak ada suara klapson yang memperingatiku, mungkin pengemudi mobil itu tidak menyadari bahwa aku berada di tengah jalan dan ketika sudah sangat dekat barulah dia melihat aku. Kedua kaki kulipat dengan sangat dalam, menciptakan gaya pegas yang begitu kuat untuk bisa mendorong tubuhku terhindar dari tabrakan mobil tadi.

Pengemudi membanting stir mobil, mencoba menghindariku, mobilnya membelok ke samping dan menabrak lampu jalan yang langsung bengkok, lampu jalan itu jadi berkedip konsleting dan beberap kali kembang api muncurat dari bola lampu yang terlindungi oleh plastik transparan.

Sedikit pun tubuhku tidak tergores, aku berdiri sambil menoleh kearah mobil yang mulai berasap. Cat mobil yang berwarna merah hati sedikit terkelupas karena benturan keras bagian samping mobil dengan tiang listrik. Bekas ban akibat rem yang tiba-tiba, menciptakan bentuk garis melengkung hingga berakhir di bagian belakang mobil tadi.

Aku berlai mendekati mobil, meloncat lewat kaca depan yang pecah. Seorang perempuan tunduk di depan stir mobil, sabuk pengaman cukup berhasil menahan tubuhnya untuk terpental, namun karena benturan yang cukup keras, tetap saja perempuan sekaligus pengemudi mobil tadi tak lagi bergerak.

“Apa dia mati?,” tanyaku pada diriku sendiri, lalu aku meloncat ke sampingnya dan mengintip dari celah sempit tangannya yang masih memegang stir mobil. Aku bisa merasakan hembusan napasnya, tapi hembusan itu tidak terlalu kuat, malah lemah dari apa yang pernah dijumpaiku selama ini.

Aku melengak ke langit menunggu Maut datang untuk menjemput pengendara mobil tadi, namun cukup lama aku menunggu maut tidak juga kunjung datang. Seorang pengendara mobil yang ingin melintas menyadari kecelakaan itu menepi dan langsung menghubuni polisi. Tak lama kemudian polisi dan ambulance datang. Pengendara perempuan itu masih belum sadarkan diri, saat para petugas medis mengangkatnya ke dalam mobil ambulance aku ikut masuk kesana, bersembunyi di bawah bangku petugas.

Sesampai di rumah sakit perempuan tadi dibawa ke ruang oprasi, aku tak tahu apa yang terjadi di ruang itu karena aku tak bisa masuk ke sana, aku bersembunyi di balik tempat sampah, menunggu apa yang terjadi. Sebenarnya aku menunggu Maut datang, tapi hingga oprasi selesai dan perempuan tadi di pindahkan ke ruangan lain Maut tidak juga muncul.

Dua hari berlalu perempuan tadi belum juga sadarkan diri, dan aku kasihan padanya ketika tak satu orang pun datang menjenguknya. Saat polisi berbincang dengan salah satu petugas medis aku mendengarkan dengan seksama. Tidak ada yang tahu siapa dia, identitasnya juga tidak ada dan mobil yang digunakannya adalah mobil curian.

Tengah malam suasana benar-benar sunyi, suara mesin elektrokardiogram menghitung detak jantung perempuan tadi, menenggelamkan suara jam dinding yang terpajang di samping jendela. Aku meringkuk di bawah tempat tidur mencoba untuk memejamkan mata, sempat beberapa kali aku tertidur namun terjaga kembali.

Aku keluar dari bawah tempat tidur meloncat ke bangku samping tempat tidur, awalnya aku hanya ingin memastikan bahwa perempuan tadi baik-baik saja, namun aku sedikit terkejut karena melihat maut sudah berdiri di seberangku memandang perempuan tadi dengan wajah yang murung.

“Apa kau akan menjemputnya?.” Tanyaku dengan suara pelan.

Maut menoleh kearahku lalu menggelengkan kepalanya.

“Lalu mengapa kau datang kesini?.” Tanyaku lagi heran.

“Karena aku ingin memberitahumu tentang tuanmu ini. Dia sudah membuat aku bingung untuk menentukan.” Jawaban Maut terdengar aneh dan sulit kumengerti.

“Aku tidak mengerti maksudmu?.” Aku hanya terus bertanya. “Dan dia bukan tuanku.” Aku menambahkan.

“Tuanmu ini ingin melakukan bunuh diri, dia sudah merencanakan semuanya. Jelas dia melawan takdir.” Tetap saja Maut menyebut perempuan itu tuanku.

“Tapi dia kan belum mati?.”

“Itulah yang membuat semuanya menjadi rumit,” terasa sebuah keluhan dari kata-kata Maut tadi.

“Aku hanya menjemput orang-orang dari takdir mereka, sedangkan tuanmu ini memang menginginkan kematian dan malah sudah merencanakannya. Aku tidak berhak menjemputnya.”

“Apakah kau tahu kapan dia akan mati?.”

Maut menggeleng. “Seseorang yang melakukan bunuh diri tak bisa ditebak takdir kematiannya, semuanya akan menjadi kacau.”

“Lalu bagaimana kalau dia akan terus hidup setelah kejadian ini?.”

“Maka dia akan bunuh diri.” Jawab Maut dengan cepat.

“Lalu?.”

“Kita harus menentukannya dengan merunut kejadiannya.”

“Apa kau tahu?.”

“Kau masih belum menyadarinya.” Maut seperti tertawa. “Ada banyak hal yang aku ketahui tapi tidak kau ketahui dan demikian juga sebaliknya.”

Aku meregangkan tubuhku dan bersiap-siap mendengar cerita maut.

“Semasa hidupnya tuanmu ini hidup menderita, kedua orang tuanya meninggal saat dia kecil, lalu dia tinggal disebuah keluarga yang kejam kepadanya, berkali-kali dia dilecehkan oleh ayah angkatnya hingga akhirnya dia melarikan diri pada usia 15 tahun. Lari dari kandang singa masuk ke kandang harimau itulah yang terjadi padanya, hidup di jalan, ditemukan oleh seorang perempuan yang pada akhirnya menjadikannya seorang pelacur.”

“Mengapa takdir membawanya kehidup yang mengerikan?.” Aku sedih mendnegar cerita Maut. “Aku bisa maklum jika dia pada akhirnya menentang takdir.” Lanjutku berpendapat.

“Kau berkata seperti itu karena kau tidak tahu cerita lainnya denga sisi yang berbeda.” Maut memperotesku karena terlalu cepat mengambil kesimpulan. “Tuanmu itu sudah membunuh beberapa orang dengan sangat keji, dia membunuh seorang bayi dengan menenggelamkannya ke dalam sungai, mengorok leher seorang lelaki dengan pisau belati dan meracuni seorang perempuan lalu menggantungnya seolah bunuh diri.”

Aku tercengang tak percaya dengan ucapan Maut yang terasa menohokku.

“Dia menjadi selingkuhan seorang lelaki yang dibunuhnya itu, karena iri dengan istri lelaki tadi maka diracuninya istri kekasihnya itu lalu digantungnya seolah bunuh diri. Sedangkan bayi tadi adalah anak dari istri kekasihnya tadi, karena bingung bayi tadi terus menangis tiada henti maka bayi tadi pun di tenggelamkannya di sungai. Hanya manusia yang berhati iblis bukan yang tega melakukan itu semua. Jadi apa pendapatmu tentangnya setelah mendengar ini.”

Aku tak bisa berucap, aku seperti dikelabui oleh kenyataan.

Maut menutup ceritanya dengan ucapan singkat. “Lalu dia merencanakan bunuh diri.”

Aku terpaku memandangi wajah perempuan tadi, tak ada tindakan yang terasa tepat bagiku untuk hidupnya. “Bagaimana jika kau menjemputnya saja sekarang,” ucapku pada Maut.

Maut menghilang tanpa jejak, dia menghilang bersamaan dengan suara elektrokardiogram yang membentuk satu nada datar, nada kematian.

Jujur, aku merasa diriku seperti bermimpi, tiba-tiba saja aku berada di tempat yang sama, trotoar yang sama dan jalan yang sama sunyinya, aku memandang kesebrang dan muncul perasaan ingin meyebrang. Karena jalan benar-benar sunyi, aku pun menyebrang tanpa memastikan apa ada mobil yang akan melintas. Lalu dari kejauhan cahaya lampu sorot mobil menangkapku bagaikan seorang aktor di atas sebuah teater pertunjukan, di sinari dan terdiam karena tercengang. Tak ada suara klapson yang memperingatiku, mungkin pengemudi mobil itu tidak menyadari bahwa aku berada di tengah jalan dan ketika sudah sangat dekat, dia tetap saja melaju tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun, aku terlindas sangat keras hingga tubuhku terasa gepeng. Entah pengemudi itu melihatku lalu terus menabrakku atau dia memang benar-benar tidak melihatku. Tapi yang aku tahu bahwa pengemudi itu juga akan mati atas rencana bunuh diri yang sudah direncanakannya.

Napasku menyesak, tubuhku tidak bisa bergerak. Perlahan kulengakkan kepalaku ke langit dan kulihat Maut turun menghampiriku.

“Apa kau ingin menjemputku?. Bukankah aku masih memiliki 2 nyawa lagi?.” Tanyaku panik.

Maut seperti tersenyum. “Kucing memang payah dalam soal menghitung.” Ucapnya singkat.[]

 

Kencan Ganda

you-belong-here-55ab21b5b492731134115d6c

SEBUAH PESAN dari seorang teman di telepon genggamku hari ini membuat aku sedikit terkenang tentang masa-masa saat kuliah dulu, saat waktu banyak kuhabiskan di ruang kamar asrama yang sempit, di dalam kamar asrama aku memang tidak sendirian, aku satu kamar dengan Halim, manusia paling acuh memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dan habatnya lagi dia anak orang kaya namun pembangkang yang dipaksa orang tuanya hidup di asrama.

Aku sedikit beruntung satu kamar dengan Halim, karena bagiku dialah sosok yang membuat aku terhubung dengan dunia luar, karena sejak dulu tidak ada yang memperdulikan keberadaan seorang pendiam dan penyendiri sepertiku ini. Selain itu juga Halim adalah seorang pembaca komik jepang yang kronis, selama kami hidup bersama di asrama dia sudah mengoleksi tujuh kardus komik jepang. Aku tidak paham apa asiknya membaca komik, pernah aku mencoba meminjam beberapa komiknya dan membacanya, tapi aku malah mengalami kesulitan karena setiap adegan sudah tergambar dengan jelas, aku lebih suka membayangkan sebuah adegan seperti membaca novel-novel, walau aku tidak punya banyak novel karena tidak punya banyak uang lebih untuk membelinya.

Tapi demikianlah hidup, semua orang tidak perlu menyukai hal yang sama, mungkin jika ditanya apakah Halim suka membaca novel, pastilah dia juga menjawabnya seperti aku membicarakan komik tadi. Hanya bedanya jika aku mencoba untuk membaca komik sedangkan Halim tidak akan pernah mau mencoba membaca novel, sebab dia adalah tipe orang yang hanya melakukan sesuatu karena dia suka saja.

Dan pada suatu kesempatan Halim memperkenalkanku dengan pacarnya yang bernama Uran, perempuan cantik berkulit putih lembut dengan rambut lurus hitam panjang melewati bahu. Halim dan Uran sudah saling kenal sejak mereka kecil dan ketika aku melihat mereka berdua, aku menilai bahwa mereka berdua adalah pasangan paling serasi yang pernah kulihat dalam hidupku. Walau pada akhirnya penilaian itu perlahan berkurang ketika aku mulai masuk dalam kehidupan mereka.

Halim sering mengajakku ikut bersama mereka jalan-jalan, aku lebih sering menolak daripada menyetujuinya, karena aku merasa tidak enak saja ikut pasangan yang sedang berpacaran, salah-salah aku hanya akan jadi pengganggu saja. Namun Halim adalah seorang pembujuk yang ulung, dia cepat mengerti kenapa aku sering menolak, maka agar aku mau ikut dia memberitahuku bahwa Uran juga mengajak salah satu teman perempuannya.

“Memangnya kita mau kemana?.” Tanyaku mau cari alasan menolak ajakan Halim.

“Hanya nonton dan makan saja. Tenang saja aku yang traktir semua.” Begitu beruntungnya aku bukan satu kamar dengan Halim.

Karena tak bisa lagi mengelak aku pun ikut ajakan Halim itu. Teman Uran itu bernama Nabila, orangnya cantik, baik dan cepat bergaul. Dan ketika kami makan tiba-tiba saja Halim pergi ke toilet demikian juga dengan Uran, aku tak tahu bahwa mereka merencanakan hal itu untukku, aku tahu itu semua ketika akhirnya Halim menceritakannya setelah kami di kamar asrama malam itu.

Nabila terus bercerita tentang banyak hal, tapi tak satu pun cerita Nabila yang bisa aku cerna dengan benar, karena aku memang tidak benar-benar mendengarkannya. Terkadang aku hanya bilang “iya” dan “oh” agar Nabila tidak seperti sedang bicara sendiri. Hingga akhirnya Halim dan Uran kembali dari toilet tidak ada hal yang berarti terjadi.

Setelah makan kami pun pergi ke bioskop, dan lagi-lagi Halim sengaja mengajak nonton film horror dan membiarkan Nabila duduk di sebelahku, walau berkali-kali Nabila memegang tanganku karena dia ketakutan, tetap saja perasaanku tidak berubah, tidak ada gaya tarik diantara aku dan Nabila, kami hanya hampa yang mencoba mengisi hidup kami dengan ruang baru yang ternyata tidak cocok untuk kami berdua.

Ini adalah awal dari sekian banyak kencan ganda yang kami lakukan, aku juga tidak mengerti kenapa Halim dan Uran mati-matian mencarikan pasangan untukku, padahal aku hanya seorang teman yang kebetulan satu kamar asrama dengan Halim. Teman!, ah mungkin karena itu dia sedikit berjuang untukku. Pikirku akhirnya.

Dari sekian banyak kencan ganda yang kami lakukan tak ada satu pun yang berhasil, hingga akhirnya pada suatu kesempatan Uran bertanya padaku. “Kamu suka perempuan seperti apa?.”

Aku tersenyum menanggapi pertanyaan Uran itu, lalu berpikir sejenak. “Aku suka perempuan yang cocok saja denganku.” Jawabku singkat.

“Aneh sekali kau ini, yang cocok itu yang tipe seperti apa?.” Nada bicara Uran terdengar kesal.

“Yang tahu bahwa aku aneh, itu saja.”

Setelah jawabanku itu Uran tidak lagi bertanya, dia bungkam begitu saja, bahkan ketika Halim datang menghampiri kami setelah membayar komik yang dibelinya di kasir, Uran tidak lagi mau bicara padaku, memandangku saja dia tidak mau dan setelah hari itu kencan ganda benar-benar berakhir. Karena Halim tipe orang yang selalu membicarakan hal yang ingin dibicarakannya dia pun bercerita bahwa Uran tidak mau lagi mencarikan pasangan untuk kencan ganda berikutnya.

“Aneh sekali, padahal dia sendiri yang memaksaku sejak awal untuk mencarikanmu pasangan.” Ucap Halim sambil berbaring ditempat tidurnya dan bersiap membaca komik yang baru dibelinya. “Perempuan memang sulit ditebak.” Halim tertawa sendiri dengan ucapannya itu.

Seolah ada sesuatu yang hilang begitu saja dalam hidupku, bukan karena tidak ada lagi kencan ganda tapi hal ini lebih karena Uran tidak mau lagi bicara padaku, tapi mungkin benar seperti yang Halim katakan bahwa perempuan memang sulit ditebak. Pernah dalam suatu keadaan ketika kami jalan bertiga dan tiba-tiba kami terpisah dengan Halim disebuah toko baju yang sesak dengan ibu-ibu karena sedang ada diskon besar-besaran di toko itu. Aku menggandeng tangan Uran agar tidak terpisah dan mulai mencari Halim, tapi kami tidak saling bicara dan dia juga tidak perotes akan hal itu, tapi aneh saja tiba-tiba jantungku jadi berdebar sangat kencang dan ketika kami akhirnya berjumpa lagi dengan Halim, Uran dengan cepat menarik tangannya. Sejak saat itu aku selalu menolak jika Halim mengajakku berjalan bersama Uran, aku merasa ada yang salah jika aku harus berada di antara mereka berdua.

Memasuki akhir perkuliahan semuanya jadi super sibuk, tapi di tengah kesibukan itu ada satu kejadian yang membuat aku sangat bersedih. Halim meninggal dunia, dia meninggal begitu saja, dari cerita yang kudengar Halim mengalami serangan jantung, tapi menurutku Halim terlalu muda untuk mengalami serangan jantung. Intinya jantungnya berhenti berdetak dan dia menghilang dari dunia ini.

Kini aku benar-benar sendirian di kamar asrama, kadang aku menangis sedih luar biasa dan memandangi tempat tidur Halim yang tersisa di kamar itu, semua barang-barang Halim sudah diambil orang tuanya, namun kenangan kami bersama tidak akan pernah aku lupakan.

Setelah Halim tiada, Uran muncul kembali dalam hidupku, dia mendatangiku ke asrama lalu mengajakku untuk jalan-jalan tanpa tujuan, kami jarang bicara tapi kami selalu meluangkan waktu untuk bersama, kadang kami makan bersama, nonton bersama, ke toko buku bersama, ketempat-tempat yang dulu pernah kami kunjungi bersama Halim.

“Maafkan aku sudah menjauhimu.” Ucap Uran tiba-tiba.

“Tak apa, itu adalah hal yang benar.” Aku memakluminya. “Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu.”

“Tentang apa.”

“Mengapa dulu kau berusaha mencarikan aku pasangan?.”

Uran diam, dia ragu menjawabnya, dengan helaan napas panjang dia pun memberikan jawaban. “Karena kau membuat aku tersiksa. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu padaku, tapi sejak pertama melihatmu aku sangat menyukaimu, dan itu adalah sebuah dosa bagiku karena aku dan Halim berpacaran, lagi pula Halim adalah teman baikmu.”

“Aku juga menyukaimu. Tapi situasiku juga sama denganmu.”

“Kita adalah sepasang manusia bodoh yang terjebak dalam keadaan yang sulit.” Uran berpendapat.

Sejak hari itu aku dan Uran memutuskan untuk berpacaran, tapi ada hal yang tidak bisa kami jelaskan dengan kata-kata, ada sesutu yang salah di antara kami, kami pun sempat membicarakannya namun kami juga tidak tahu harus bagaimana, mungkin itu karena Halim, keberadaan Halim lah yang membuat kami jadi normal, membuat kami jadi terhubung dengan kehidupan ini. Tapi kini dia sudah tak ada dan kami merasa hampa. Kehampaan itulah yang pada akhirnya membuat kami harus berpisah begitu saja, kami berpisah dengan cara yang baik-baik dan membuat janji apabila suatu ketika kami berjumpa dan kami berada dalam keadaan terbaik kami maka kami memutuskan hidup bersama. Dan setelah perkuliahan selesai kami benar-benar terpisah. Kami pergi ketempat berbeda dengan harapan bahwa suatu saat kami akan berjumpa kembali tanpa harus saling mencari.

Tapi kehidupanku kini tidak semakin membaik, memang aku sekarang sudah bekerja dan memiliki penghasilan, namun kehampaan dalam diriku masih sama seperti dulu, aku seperti kesepian yang tidak tahu bagaimana caranya menghibur diri sendiri, hingga pesan itu masuk ke telpon genggamku, aku semakin merasa hampa.

Pesan itu dari Nabila, aku tak tahu darimana Nabila mendapatkan nomor telpon genggamku, dia memberitahuku tentang Uran, dan aku sangat terkejut dibuatnya. Uran bunuh diri, dia gantung diri begitu saja. Dia sudah pergi tanpa ada kata perpisahan yang berarti. Entah dia juga merasakan kehampaan sepertiku sehingga dia memutuskan untuk menyudahi kehampaan itu, atau mungkin ada tekanan lain yang membuatnya melakukan bunuh diri. Aku tidak pernah bisa menebak kepastiannya.

Kini aku benar-benar sendirian, dengan harapan yang sudah menghilang, aku menjadi hampa yang tak lagi bisa bermakna apa pun, aku hanya aku dan selamanya akan menjadi seperti ini, jika suatu ketika aku sudah tak tahan lagi dengan kehampaan ini, mungkin aku juga akan pergi menyusul Halim dan Uran. Dan saat ini pun aku mulai memikirkan hal itu.[]

Kisah Cinta Botol Minuman Bersoda

message-in-a-bottle-bottle-letter-sea-1080x1920-55a62c86a5afbd3f07aa4d53

AKU ADALAH sebuah botol kosong yang lupa darimana asalku, aku lupa usiaku saat ini, karena saat aku bercermin pada pantulan air laut yang membiru aku tak bisa melihat kerut pertanda tuanya sebuah usia. Tapi aku samar-samar mengingat bahwa dulunya aku berisi minuman bersoda dengan rasa lemon yang getir. Karena aroma lemon pada dinding kacaku masih tercium menyegarkan. Sebelum aku dibuang kelautan bersama sebuah surat cinta yang berisikan curahan sakit hati, aku memiliki kekasih hati yang aku cintai, dia adalah sebuah tutup botol kaleng yang begitu pas dan serasi dengan diriku, kami menyatu bagaikan sepasang kekasih yang sedang bercinta, begitu mesra, begitu intim. Sampai pada suatu ketika kami dipisahkan oleh penyungkil tutup botol yang ada di lemari penyejuk tempat kami menghabiskan musim dingin yang panjang.

Aku sangat merindukan tutup botol kaleng yang aku cintai dan aku sangat membenci tutup botol kayu yang dijejelkan di pangkal mulutku agar surat cinta yang berisikan curahan sakit hati itu tidak basah oleh air laut. Lama aku dan tutup botol kayu berlayar mengarungi samudera hingga akhirnya aku terbiasa dengannya, bersamanya walau aku tetap tidak bisa mencintainya sedalam cintaku dulu. Namun aku bersukur karena aku tidak sendirian di tengah laut, karena laut bisa berubah menjadi penjara yang menyiksa tak ada angin dan gelombang, atau bisa menjadi mengerikan karena badai yang membuat kami terombang-ambing dihempas gelombang. Kami saling berpegangan, saling menguatkan, hingga akhirnya timbul perasaan kasihan dalam hatiku pada tutup botol kayu yang mau menerimaku apa adanya. Tapi ini urusan cinta dan perasaan, sulit jika harus dipaksakan, aku takut pada akhirnya hanya akan mencipta luka yang tidak ada obatnya.

Lalu kami terdampar disebuah pantai berpasir putih yang begitu indah, yang bersinar cemerlang seperti tumpukan berlian apabila terbias matahari. Gelombang meraba bibir pantai, mendorong kami ke atas pasir, membuat kami terbaring sambil tertawa, seperti sepasang suami istri yang sedang berbulan madu, tapi tiba-tiba kami sontak terdiam, kami sadar bahwa di dalam diri kami terdapat sepucuk surat cinta yang berisikan curahan sakit hati.

Kami melengak melihat ke atas, kearah alunan daun kelapa yang begoyang diterpa angin, lalu indahnya taburan bintang berhias rembulan yang perlahan bergerak dari ujung lautan yang gelap. Kami menikmati itu bahkan lebih dari apa yang bisa kami bayangkan sebelumnya, namun aku tak tahu bahwa itu adalah sebuah pertanda, pertanda kami akan terpisah dan tidak akan pernah berjumpa lagi.

Pagi ketika embun merayapi bagian tubuhku, sebuah tangan manusia meraihku dari atas pasir, tangan itu putih dan sangat lembut, kukunya berwarna merah muda, jarinya kurus dan sangat indah. Lalu dalam hitungan detik jari-jari itu menarik tutup botol kayu, melepaskan cengkraman kami dan memisahkan kami begitu saja. Aku bisa melihat tutup botol kayu tergeletak di atas pasir dengan derai air mata, namun kami tak berdaya seperti sepasang sepatu yang berada di kotak nirwana.

Aku dibawa oleh pemilik jari-jari tadi kerumahnya karena dia tidak bisa menarik surat cinta yang berisi kan curahan sakit hati itu dari dalamku. Di kamarnya dengan sebuah penjepit besi, diambilnya surat cinta tadi dengan paksa. Kini aku benar-benar sendirian dengan kekosongan, tanpa tutup botol tanpa surat cinta, aku seakan menyesal sudah melewatkan cinta yang seharusnya bisa bersemi diantara aku dan tutup botol kayu, namun beginilah takdir bergulir kadang bisa menyenangkan kadang juga bisa menyakitkan.

Lama aku sendirian, diletakkan disamping tumpukan buku berbau apak, melewati hari dengan sendiri, dengan kesunyian yang aku ratapi. Aku tahu surat cinta yang berisi kan curahan sakit hati itu ada di atas meja, namun aku tidak bisa menggapainya, aku tak berdaya. Kadang aku mendengarkan pemilik jari-jari membaca surat itu dan aku juga bisa melihat dia menangis karena terharu, tapi hal itu malah membuat aku teringat dengan tutup botol kayu, aku jadi bersedih.

Dan di suatu pagi saat sepasang burung melintas saling kejar menuju sarang mereka, pemilik jari-jari itu menarikku dan meletakkanku di atas meja disamping surat cinta yang berisikan curahan sakit hati. Namun terkejutnya aku ketika diriku diisi dengan air dan tiga tangkai bunga tulip yang indah, lalu aku diletakkan di samping jendela menghadap kebun kecil.

Kini aku mulai lupa indahnya jatuh cinta, bukan karena aku tidak ingin jatuh cinta, hanya saja aku tidak pernah menemukan cinta lagi dan pertualangan seperti dulu, kini aku hanyalah bekas botol minuman bersoda yang menjelma menjadi pot bunga penghias kamar, jujur aku kesepian tapi apalah daya aku hanyalah sebuah botol.

Tak terasa sudah bertahun-tahun waktu berlalu, sebuah kamar akhirnya menjadi gudang tua yang ditinggalkan begitu saja. Bunga tulip yang diganti setiap hari akhirnya menjadi layu dan busuk menambah kesuramanku, jendela tempat aku menatap halaman tertutup rapat, aku benar-benar terpuruk, menjadi barang tak berguna di sebuah gudang tua, kesepian dan sendirian. Dan pada suatu malam di musim hujan, badai datang begitu kencang, membuat jendela bergetar hingga terbuka tak tentu arah, aku jatuh kesamping jendela tergeletak di atas rerumputan yang bergoyang.

Oh Tuhan apakah ini akhir dari hidupku. Pikirku tidak menentu.

Badai pasti berlalu, malam akan berganti dan hujan akhirnya reda begitu saja. Kukira aku sudah mati, tapi aku baru sadar bahwa aku hanya sebuah botol yang tidak bernyawa, yang tidak bisa mati walau bisa pecah dan hancur

~

Sudah tiga bulan Lelaki berlayar di lautan dan kini dia punya waktu empat hari untuk melepaskan kerinduannya kepada kekasih hatinya. Hari itu hujan turun sangat lebat walau suasana hati Lelaki ceria karena tak sabar lagi mendapati belahan jiwanya. Dengan payung hitam yang dipegangnya erat dan langkah kaki setengah berlari, dia menyusuri jalan kenangan yang selalu dia ingat, tempat dia dan belahan jiwanya bersepeda bersama-sama, mengejar matahari tenggelam di ujung dermaga.

Pintu rumah tertutup rapat, halaman sempit berhias bunga-bunga basah tanpa cela. Di jalan setapak yang berlapis bebatuan kerikil Lelaki melangkah menuju pintu utama, dia berhenti dan berdiri di atas keset bundar bercorak kucing anggora. Payung hitam ditutup kemudian diletakkan di samping pot bunga sepatu, pintu diketuknya perlahan tak lama kemudian suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Pintu dibuka dari dalam dan sekejab ekspresi wajah Lelaki berubah heran. Bukan belahan jiwanya yang berdiri di depan pintu, melainkan seorang Lelaki lain seumurannya yang tidak dikenalnya berdiri dihadapannya.

Nada suara yang dirindukan Lelaki terdengar dari dalam rumah. “Sayang, siapa itu?.” Wajah sirus dengan rambut hitam panjang bergelombang terurai melewati bahu menatap Lelaki dengan mata coklat indahnya. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut mereka semua, selain suara tetesan hujan yang semakin lebat. Lelaki mundur beberapa langkah, tanpa sebuah penjelasan apa pun, dia berpaling dan berjalan di bawah hujan, meninggalkan payung hitamnya, meninggalkan belahan jiwanya yang sudah membuat hatinya terluka.

Air mata bercampur dengan air hujan, kerinduan jadi luka yang merajam, Lelaki bersandar di dinding sebuah toko suwalayan, menyeka wajahnya dengan kedua tangan, tapi semua itu tidak mampu menyapu pilu yang terlanjur bersarang penuh belenggu. Lelaki kembali ke kapalnya dengan membawa perasaan terluka dan sebotol minuman bersoda yang dibelinya di toko suwalayan tadi.

Empat hari berlalu dengan sangat berat, akhirnya kapal harus kembali berlayar kelaut lepas, dan saat kapal sudah melewati sebuah teluk dan benar-benar berada di laut lepas, Lelaki baru teringat dengan sebotol minuman bersoda yang diletakkannya di lemari penyejuk. Diambilnya minuman bersoda tadi, dibukanya tutup botolnya dengan penyungkit tutup botol yang ada di lemari penyejuk, tutup botol terjatuh dan bergulir ke bawah lemari penyejuk, namun hal sekecil itu diabaikan oleh Lelaki, dia kembali ke kamarnya dan menulis sebuah surat  cinta yang berisikan curahan sakit hatinya.

Surat dengan kata-kata miris dan limpahan sakit hati selesai ditulis dengan perasaan marah penuh gejolak. Surat tadi digulung rapi lalu dimasukkan ke dalam botol minuman bersoda yang sudah kosong dimumnya saat sedang menulis, tapi Lelaki tidak ingin suratnya basah atau rusak sebelum dilemparkan ke lautan, maka dia pergi ke dapur mengambil tutup botol kayu yang dimiliki oleh botol kecap asin lalu menyumpalkan tutub botol kayu tadi kemulut botol minuman bersoda. Tutup botol kayu memang kurang pas dimulut botol minuman bersoda tapi setelah dipaksa akhirnya pas juga jika hanya untuk mencegah air laut masuk ke dalam botol. Dan ketika senja mulai datang serta daratan sudah tidak terlihat lagi, Lelaki melemparkan botol minuman bersoda yang berisi surat cinta penuh curahan sakit hati dan tutup botol kayu yang melindungi surat tadi ke lautan lepas.

Rasa sakit hati Lelaki memang masih ada, tapi sedikit banyak sudah berkurang begitu saja, ada kehidupan baru membentang dihadapannya seperti luasnya lautan dan cakrawala yang menyadarkannya. Sebuah kisah cinta yang berujung sakit hati sudah selesai dan akan dimulai cerita baru yang mungkin berakhir bahagia, seperti nasib botol minuman bersoda yang terombang ambing di lautan lepas bersama surat cinta yang berisikan curahan sakit hati dan tutup botol kayu yang sederhana.

~

Aku dan beberapa botol lainnya bernyanyi ketika kami saling sentuh di sebuah rak pelastik, kami dibersihkan setelah kembali ditemukan, diseterilkan dan diberi nama yang menarik, lalu kami diisi dengan minuman bersoda rasa lemon yang getir, tapi dari sekian banyak hal itu semua yang sangat membuat aku bahagia adalah ketika sebuah tutup botol kaleng dipasang dipangkal mulut kami, sudah lama aku tidak merasakan sensasi seperti itu, sensasi luarbiasa setelah sekian lama tidak pernah menemukan kekasih pujaan hati. Memang aku tahu ini bukan tutup botol kaleng seperti yang dulu pernah ada dalam hidupku, tapi aku sekarang sudah belajar dari banyak pengalaman bahwa jika ingin dicintai maka harus menerima dan mencintai, dengan perasaan seperti itu pada akhirnya cinta akan datang dengan sendirinya.

Kami mengahabiskan seluruh waktu kami bersama, mulai dari hari-hari dalam kardus kemasan hingga ketika kami diletakkan di dalam sebuah lemari penyejuk yang ada di toko suwalayan, seperti musim dingin yang dulu pernah datang, kami saling menghangatkan penuh cinta, membiarkan kami rasa membeku dan menyatu penuh cumbu. Lalu sebuah hari itu datang, hari yang aku takutkan, hari yang membuat aku dan tutup botol kaleng gugup tidak karuan. Hari ketika pintu lemari penyejuk di buka oleh seorang Lelaki dan jari-jarinya yang kokoh meraih kami keluar. Tapi tidak hari ini, aku dan tutup botol kaleng merasa lega, karena jari kokoh itu tidak meraih kami, dia meraih botol soda yang lain sehingga kami merasa sedikit agak lega walau kami tahu waktu yang kami miliki sudah tidak banyak lagi dan pada suatu ketika nanti akan ada perpisahan diantara kami dan pertualangan baru yang tidak bisa kami tebak sebelumnya.

Bisa saja Lelaki itu adalah kau, atau juga kau yang lain….setelah kau mendengar kisahku ini apakah kau tega mengambil kami dari lemari penyejuk dan memisahkan kami yang saling mencintai ini, itu semua tergantung kau, karena kami hanya sebuah benda mati yang tidak bisa mati walau kami bisa rusak dan hancur. Kami berdua hanyalah sebuah botol minuman bersoda dan sebuah tutup botol kaleng yang tidak berdaya.[]

NB : Sebentar lagi kita akan membuka botol minuman bersoda, selamat hari Raya!